Sunday, November 1, 2009

Aksi Tanpa Kekerasan

AKSI TANPA KEKERASAN
Bagian 1: Kekuasaan dan Perjuangan


Tulisan ini merupakan pengantar tentang gagasan aksi-tanpa-kekerasan dan penggunaan kekuasaan. Dalam tulisan ini, penulis menguraikan pengertian aksi-tanpa-kekerasan, hubungannya dengan kekuasaan dan manfaatnya bagi orang banyak. Dalam tulisan ini digambarkan perbedaan bentuk aksi-kekerasan dan tanpa kekerasan serta pernyataan penting bahwa aksi-tanpa-kekerasan bukan berarti tidak melakukan apapun, melainkan benar-benar suatu aksi. Selain itu, tulisan ini juga menguraikan tentang sumber-sumber kekuasaan dan pemikiran bahwa pemerintah atau sistem kekuasaan tergantung pada rakyat yang mereka layani. Kemauan baik, keputusan-keputusan dan dukungan rakyat sangat penting bagi pemerintah.

Tulisan ini juga memberikan gambaran tentang sistem pengawasan tradisional terhadap pemerintah; juga uraian terhadap teori yang menyatakan bahwa tidak memberikan dukungan merupakan cara untuk mengontrol kekuasaan dan kebijakan pemerintah.

Gagasan utama dari tulisan ini adalah orang yang memiliki kekuasaan sebenarnya memperoleh kekuasaan dari sumber-sumber di luar dirinya terutama orang–orang yang dilayani. Itu berarti bahwa penguasa memperoleh kekuasaan tidak secara otomatis melainkan dari sumber-sumber di luar dirinya. Sumber-sumber kekuasaan yang dibahas dalam tulisan ini adalah:

• Wewenang : hak untuk memerintah, didengar dan dipatuhi secara sukarela oleh rakyat
• Sumber daya manusia: jumlah orang yang mematuhi peraturan
• Pengetahuan dan ketrampilan: hal yang diketahui penguasa
• Faktor yang tidak kelihatan: kebiasaan dan sikap rakyat
• Sumber-sumber material: kontrol penguasa terhadap hak milik, sumber daya alam, sistem ekonomi, dll.
• Sanksi-sanksi: hukuman dan peraturan yang dapat digunakan penguasa untuk melawan rakyat atau penguasa lain

Semua sumber kekuasaan ini sangat ditentukan oleh dukungan rakyat dan kepatuhan mereka kepada sumber-sumber kekuasaan.

Pemikiran bahwa kekuasaan penguasa tergantung pada persetujuan rakyat merupakan hal yang sangat penting bagi aksi-tanpa-kekerasan. Persetujuan bersama mungkin tercapai karena rakyat benar-benar setuju terhadap hak penguasa atau bisa juga karena rakyat takut. Agar dapat melakukan aksi-tanpa- kekerasan, rakyat harus memutuskan untuk tidak setuju atau menarik kembali persetujuan bersama terhadap penguasa. Sering kali rakyat tidak tahu bahwa mereka memiliki kekuatan untuk melemahkan pemerintah atau sistem kekuasaan dengan cara menarik kembali dukungan mereka. Penggunaan aksi- tanpa-kekerasan dapat dilakukan dengan cara menolak melakukan sesuatu, misalnya, tidak membayar pajak atau melakukan hal-hal yang dilarang, seperti demonstrasi, atau kombinasi dari kedua tindakan ini. Dengan melakukan hal itu, rakyat dapat menarik kembali dukungannya kepada pemerintah atau orang yang berkuasa.

Ada tiga metode aksi-tanpa-kekerasan:
1. Protes dan himbauan tanpa kekerasan: pembentukan barisan, parade.
2. Non-kooperatif: ekonomi, sosial dan politik
3. Campur tangan tanpa kekerasan: aksi duduk, pemerintahan tandingan

Metode-metode ini dapat membawa perubahan dalam berbagai cara. Salah satunya adalah penguasa atau orang yang memiliki kekuasaan dapat menerima ide orang lain dan setuju untuk menggunakannya. Cara yang kedua adalah penguasa setuju untuk mengubah situasi tetapi tidak setuju untuk mengubah pandangannya agar sejalan dengan pandangan rakyat. Cara yang terakhir adalah perubahan dapat terjadi meskipun bertentangan dengan kehendak dan persetujuan penguasa. Tentu saja harus selalu diingat bahwa agar terjadi perubahan, kita memerlukan gerakan dari seluruh rakyat dan bukan hanya gerakan individual.

Tulisan ini juga menunjukkan saat-saat penting dalam sejarah yang membuktikan bahwa aksi-tanpa- kekerasan dapat membawa perubahan. Contohnya adalah tindakan Hitler terhadap orang-orang Yahudi. Tindakan ini dilakukan oleh kelompok perempuan non Yahudi yang mempunyai suami orang Yahudi yang ditahan dan dipenjarakan di Berlin pada tahun 1943. Para istri tersebut mengetahui tempat penahanan suami mereka dan sebanyak 6.000 diantaranya mengadakan demonstrasi dan menuntut pembebasan suami mereka. Pemerintah Jerman akhirnya melepaskan para suami tersebut karena tekanan dari para istri. Hal ini sungguh menarik untuk disadari bahwa pemerintah sebenarnya dapat menggunakan kekuatannya untuk membuat para istri tersebut diam tetapi ternyata pemerintah mendengarkan protes mereka. Demonstrasi para perempuan ini adalah contoh tindakan tanpa kekerasan yang dapat membawa perubahan.

Sebagai kesimpulan, bagian pertama dari tulisan ini memberikan gambaran mengenai tindakan tanpa kekerasan, manfaatnya, dan juga contoh sejarah penggunaannya. Hal ini membuka jalan bagi dua bagian selanjutnya.


Bagian 2: Metode-Metode Aksi-Tanpa-Kekerasan

Bagian kedua dari tulisan ini membahas tentang tiga metode yang dapat digunakan seseorang untuk melakukan aksi-tanpa-kekerasan, yaitu protes dan himbauan tanpa kekerasan; non-kooperatif dan intervensi tanpa kekerasan. Tulisan ini memberikan contoh-contoh spesifik dan gambaran dari masing-masing dan juga contoh-contoh yang pernah terjadi dalam sejarah.

Metode protes dan himbauan tanpa kekerasan didefinisikan sebagai aksi simbolik dari perlawanan secara damai atau himbauan yang lebih dari sekedar diperbincangkan namun tidak sampai pada aksi non-kooperatif atau intervensi. Contoh dari aksi ini adalah: pawai, mogok kerja, poster, dan aksi-keprihatinan. Hal-hal ini dapat menjadi peringatan bahwa hal buruk dapat terjadi jika tidak segera diadakan perubahan. Metode ini digunakan untuk mempengaruhi pihak lawan dengan cara menggalang perhatian dan publikasi. Metode-metode ini dapat juga digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat umum atau mempengaruhi orang-orang yang secara langsung dapat dipengaruhi oleh isu tersebut.

Metode non-kooperatif di bidang sosial:

Metode ini meliputi penarikan kembali kerjasama dengan penguasa, aktivitasnya, institusi dan regimnya. Metode ini juga dilakukan dengan cara penghentian pemberian segala bentuk bantuan. Ada tiga bagian yang akan dibahas, yaitu:

1. metode non-kooperatif di bidang sosial: seperti boikot, pengucilan dari gereja dan agama
2. non-kooperatif dalam even-even sosial, budaya, dan kelembagaan: seperti demonstrasi pelajar, menarik diri dari lembaga-lembaga sosial, boikot terhadap masalah-masalah sosial
3. penarikan diri dari sistem sosial: seperti tidak keluar rumah selama beberapa waktu, pemilu tandingan

Metode non-kooperatif di bidang ekonomi:

Metode ini dijalankan dengan cara menolak atau menghentikan hubungan ekonomi. Kelompok masyarakat atau individu-individu dapat melakukan tindakan-tindakan berikut ini:

1. aksi oleh konsumen: seperti menolak untuk menyewa atau memboikot produk
2. aksi oleh pekerja dan produsen: seperti boikot yang dilakukan oleh pekerja, menolak untuk menggunakan alat-alat tertentu dan menolak untuk menjual atau membuat produk tertentu
3. aksi oleh kalangan menengah: seperti boikot oleh pemasok
4. aksi oleh pemilik dan pengelola: seperti penolakan oleh pemilik toko untuk membeli dan menjual barang-barang tertentu
5. aksi oleh lembaga keuangan: seperti penolakan untuk membayar fee, pinjaman atau bunga dan penarikan deposito bank
6. aksi oleh pemerintah: boikot secara ekonomi, penolakan untuk menjual barang, dan menghentikan kegiatan perdagangan ke negara-negara lain.

Metode non-kooperasi di bidang politik yang meliputi penolakan untuk terus berpartisipasi dalam politik dengan bentuk yang normal dan dalam situasi yang sedang berlangsung. Tujuannya adalah menjauhkan seseorang dari sesuatu yang secara moral dan politik salah. Ada enam metode, yaitu:

1. Penolakan terhadap penguasa: contohnya, menolak untuk mendukung pemerintah
2. Penolakan rakyat untuk bekerjasama dengan pemerintah: contohnya, penolakan bekerjasama dengan tidak ikut dalam pemilihan umum, tidak ikut dalam pelayanan terhadap pemerintah, penolakan untuk membantu polisi
3. Alternatif rakyat untuk patuh: contohnya, melanggar hukum bila tak ada yang melihat, menolak membubarkan pertemuan meskipun diminta pemerintah
4. Tindakan oleh pegawai pemerintah: contohnya, tidak mematuhi perintah, menghentikan penyampaian pesan, dan penolakan tentara untuk mematuhi perintah (disebut pemberontakan)
5. Tindakan oleh pemerintah daerah: contohnya: pemerintahan lokal dan propinsi menolak untuk bekerja sama dengan pemerintah pusat
6. Tindakan diplomatik pemerintah: contohnya: menghentikan hubungan diplomatik, menarik kembali keanggotaan dalam organisasi internasional

Intervensi tanpa-kekerasan:
Metode ini berbeda dari metode-metode yang lain karena aksi intervensi dalam suatu situasi dilakukan dengan cara mengacaukan atau menghancurkan kebijakan, institusi, dll. lalu memulai sesuatu yang baru dari awal . Ada empat metode, yaitu:

1. Intervensi psikologis: contohnya, melukai atau menyiksa diri, mogok makan (untuk alasan sosial dan politik), pelecehan tanpa menggunakan kekerasan
2. Intervensi fisik: contohnya, aksi duduk (untuk menutup jalan bagi kegiatan normal), berdoa (memasuki gereja atau tempat-tempat religius dimana tidak seorang pun boleh masuk)
3. Intervensi sosial: contohnya, mengacaukan even sosial, institusi atau perilaku sosial, penciptaan sistem komunikasi yang baru, tuntutan pelayanan di luar kemampuan institusi.
4. Intervensi ekonomi: contohnya, melakukan kebalikan dari pemogokan (bekerja tanpa upah untuk menunjukkan pentingnya pekerjaan), membuat uang palsu, menciptakan situasi ekonomi dan transportasi baru.


Sebagai kesimpulan, bagian dari seri ini mencoba menerangkan dengan lebih detail tentang tiga metode yang digunakan pada bagian pertama dengan contoh dan penggunaan dari ketiganya dalam sejarah.

Bagian 3: Dinamika Aksi-Tanpa-Kekerasan

Bagian terakhir dari seri ini memberikan fokus pada aksi-tanpa-kekerasan (ATK). Dalam bagian ini dibahas dasar dari ATK. Akan dijelaskan tentang pentingnya melemahkan sumber-sumber kekuasaan politik dari lawan. Ini lebih merupakan pendekatan langsung daripada kekerasan karena langsung menyerang sumbernya, bukan produk kekuasaan. Ada beberapa resiko dalam perilaku ATK, diantaranya penaklukan, penderitaan, dan kekerasan pilitik. Orang tidak boleh takut menghadapinya karena pihak lawan akan mengambil keuntungan dari rasa takut ini. Kemampuan kelompok-kelompok ATK dalam menghadapinya akan menumbuhkan rasa percaya diri bagi kelompok tersebut.

Kepemimpinan dalam ATK, pentingnya menggalang dukungan serta penyajian tuntunan juga akan dijelaskan. Proses persiapan bagi ATK sangat penting bagi suksesnya gerakan. Langkah pertama yang perlu diambil adalah meneliti fakta dari isu yang berkembang dan kemudian menegosiasikannya dengan kelompok lain. Harus dibuat keputusan mengenai waktu untuk aksi, kapan harus dimasyarakatkan. Memasyarakatkan aksi akan membantu awam melihat penyebab gerakan ATK sebagai sesuatu yang sah. Hal penting lainnya adalah sikap terbuka terhadap lawan karena kerahasiaan berarti ketakutan dan akan menyebabkan ketakutan. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, rasa takut akan menjadi alat bagi pihak lawan.

Represi dan akibatnya:
Cara-cara represif oleh lawan akan memperkuat kelompok ATK karena mereka akan menderita bersama yang akhirnya akan membuat kelompok ATK merasa tindakan mereka benar-benar sah. Jika represi digunakan, orang awam akan lebih bersimpati dan memberikan dukungan kepada kelompok ATK. Perlu diingat bahwa cara-cara represi oleh pihak lawan akan memberikan citra buruk terhadap lawan. Dan ini harus ditanggapi oleh mereka. Dengan kata lain, represi itu tidak selalu buruk, sebab dengan cara represi itu menunjukkan kebutuhan lawan untuk mencoba dan mengontrol kekuatan yang dimiliki oleh kelompok ATK. Ada beberapa macam represi yang dibahas dalam tulisan ini.

1. Solidaritas dan disiplin: menekankan bahwa pada saat tekanan dilakukan, sangatlah penting bagi kelompok ATK untuk tetap bersatu dan menjaga moril mereka. Salah satu caranya adalah dengan meyakinkan diri bahwa aksi mereka adalah benar. Pada saat represi dilakukan oleh pihak lawan, kelompok ATK tidak boleh melawan dengan aksi kekerasan. Aksi tanpa kekerasan secara terus menerus akan membawa hasil yang lebih positif karena menarik simpati dan dukungan publik, menghindari cidera, meningkatkan konflik di pihak lawan, dan dapat menarik anggota baru. Kelompok ATK tidak boleh menggunakan cara-cara perusakan. Mereka tidak boleh menghancurkan gedung-gedung, fasilitas umum, dll, karena akan mengakibatkan luka-luka dan juga membutuhkan kerahasiaan. Bahkan hasilnya adalah represi yang lebih besar dari lawan.

Dalam gerakan tanpa kekerasan, disiplin sangat penting sehingga kelompok ATK tidak perlu mengalihkannya menjadi tindakan kekerasan dan perusakan. Pemimpin ATK harus menginstruksikan atau meminta anggotanya untuk mengikuti prosedur yang semestinya. Kelompok ATK juga harus tetap menjaga disiplin diri, organisasi, kepemimpinan, perencanaan dan komunikasi dengan baik. Semua ini akan membantu menjaga kedisiplinan. Hal penting lainnya adalah keharusan kelompok ATK menghindari perasaan benci dan dengki pada lawan, menyakiti lawan karena hal ini dapat mengalihkan perhatian dari isu yang utama. Kita harus memisahkan “orang” dari “tindakan” karena yang harus dikritik adalah tindakannya dan bukan orangnya.

Politik “jiu jitsu”: adalah perubahan kekuasaan karena penarikan dukungan kepada pihak lawan dan dukungan yang lebih besar kepada kelompok ATK. Ini terjadi ketika represi digunakan karena lawan dianggap terlalu keras dan bermaksud untuk menggunakan kekerasan. Publik akan bersimpati dan memberikan dukungan kepada kelompok ATK, yang berarti juga kekuatan yang lebih besar kepada mereka. Represi juga akan memungkinkan orang-orang di pihak lawan berbalik arah dengan menarik dukungan dari pimpinannya karena mereka menganggap represi yang dilakukan terlalu keras.

Cara lain terjadinya politik “jiu jitsu” adalah ketika kelompok ATK semakin kuat bertahan karena ditekan. Kekuatan dan keteguhan hati mereka meningkat karena mereka menolak untuk takut menghadapi kekerasan yang ditujukan kepada mereka.

Tiga cara untuk mencapai sukses ATK:

1. Pengalihan / Konversi:
Konversi terjadi ketika pihak lawan mengubah pandangannya dan benar-benar ingin membuat perubahan seperti yang diinginkan oleh kelompok ATK. Metode ini mencakup keinginan lawan untuk berbuat baik. Penderitaan yang dialami oleh ATK akan membawa perubahan karena menggugah emosi lawan. Banyak keberhasilan perubahan yang tergantung pada pandangan kelompok ATK. Jika pihak lawan tidak melihat kelompok ATK sebagai manusia, perubahan tidak akan terjadi.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi:
Faktor luar:
a) seberapa penting isu tersebut bagi lawan
b) jarak sosial
c) kepribadian lawan
d) kepercayaan yang dianut oleh kedua kelompok
e) peranan pihak ketiga

Faktor dalam:
Faktor-faktor ini berada dalam kontrol ATK.
a) tidak menggunakan kekerasan atau permusuhan
b) tidak mempermalukan pihak lawan
c) mencoba untuk meraih kepercayaan lawan
d) mau berkorban
e) bekerja dengan kemampuan sendiri
f) menjaga kontak pribadi dengan lawan
g) mempercayai lawan

Semua faktor ini penting untuk terjadinya konversi. Tetapi untuk mencapai sukses tidak harus melalui konversi ada metode-metode lain yang bisa digunakan.

Akomodatif:
Dalam metode akomodatif, pihak lawan tidak diubah atau dipaksa berubah tetapi diantara keduanya. Ini mungkin metode yang paling umum digunakan yang dapat membawa sukses bagi kampanye anti kekerasan. Ini terjadi ketika lawan memberikan harapannya kepada kelompok ATK tetapi tidak mengubah pikiran mereka tentang isu yang dilontarkan. Beberapa faktor yang memberi kontribusi bagi munculnya akomodasi adalah kesadaran lawan bahwa penggunaan represi secara terus menerus adalah salah, ketakutannya kepada pandangan pihak ketiga, atau kelompok ATK sudah begitu menyulitkan sehingga lebih baik bagi lawan untuk menyerah.

Tekanan Tanpa Kekerasan
Metode ini terjadi ketika lawan harus menyerah terhadap keinginan kelompok ATK. Perbedaannya dengan metode akomodasi adalah pihak lawan benar-benar tidak punya pilihan.
Metode ini dapat terjadi dengan tiga cara:
1. Tentangan dari kelompok ATK terlalu besar untuk dapat dikontrol oleh lawan
2. Tentangan ini tidak memungkinkan lagi bagi bekerjanya sistem sosial, ekonomi, dan politik kecuali tuntutan kelompok ATK dikabulkan
3. Kemungkinan penggunaan cara-cara repressi tidak memungkinkan lagi

Semua metode ini adalah redistribusi kekuatan. Efek dari redistribusi ini sangat banyak. Salah satunya adalah kelompok ATK belajar bahwa sebenarnya mereka punya kekuatan dan mereka memiliki jalan keluar. Mereka akan yakin bahwa kebersamaan akan membuat mereka kuat dan menumbuhkan rasa percaya diri. Penyebaran aksi tanpa kekerasan sebagai lawan dari aksi kekerasan dapat berkembang sebagai suatu cara bertindak.

Keberhasilan aksi tanpa kekerasan sangat penting karena dapat membantu mengubah kekuasaan dalam masyarakat. Kekuasaan ini tidak dapat dikontrol oleh pasokan atau distribusi senjata karena kekuatan rakyat merupakan senjata paling ampuh. Sebagai kesimpulan, bagian ini membahas tentang pentingnya aksi tanpa kekerasan dan penggunaan praktisnya.

Hak Asasi Manusia - HAM

HAK ASAZI MANUSIA
Tinjauan Pendek
Oleh: Eko Prasetyo



Hak Asasi Manusia Menurut Uu 39 Tahun 1999

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia

Tiga tipe HAM

a. Hak Politik dan Hak Sipil; yaitu hak untuk merdeka, kebebasan dan persamaan (hak sipil), hak untuk terlibat secara politik sesuai dengan aturan negaranya (hak politik).
b. Hak Sosial dan Ekonomi; yaitu hak yang berhubungan dengan bagaimana masyarakat hidup dan bekerja bersama.
c. Hak Alami dan Hak untuk Maju; yaitu hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan hak untuk memajukan budaya, politik dan ekonomi.

Ketiga hak diatas juga kerap disebut sebagai hak generasi pertama atau hak “merah” (Politik dan Sipil), hak generasi kedua atau hak “biru” (sosial dan ekonomi) dan generasi ketiga atau hak “hijau” (alami dan pemajuan).

Hak-hak yang dimuat dalam UU No39 tahun 1999

1. Hak untuk Hidup
2. Hak untuk tidak disiksa
3. Hak kebebasan pribadi
4. Hak pikiran dan hati nurani
5. Hak beragama
6. Hak untuk tidak diperbudak
7. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di depan hukum
8. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut


Ciri-Ciri Khusus HAM

• Hakiki
Hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia yang ada pada mereka sejak lahir
• Universal
Hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang status, suku bangsa, gender atau perbedaan lainnya. Memang, persamaan adalah salah satu dari ide-ide hak asasi manusia yang mendasar
• Tak dapat dicabut
Hak asasi manusia tidak dapat dicabut atau diserahkan
• Tak dapat dibagi
Semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik, atau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya

Sejarah HAM dan Deklarasi HAM dunia

HAM berlaku baru dua abad terakhir ini yaitu ditandai dengan kemerdekaan Amerika dan Revolusi Perancis. Walaupun prinsip dasar HAM sudah ada sejak dulu, namun perkembangannya secara resmi diakui pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diterima oleh PBB pada 10 Desember 1948.
Perang Dunia I dan II merupakan titik balik pelanggaran HAM dunia dimana ketika itu para peminpin dunia menyalahgunakan kekuasaan mereka seperti Hitler, Stalin, Mussolini dll.
Setelah perang dunia usai para pemimpin dunia mendirikan PBB dan melalui penetapan Deklarasi tersebut, dunia sepakat untuk mencegah praktek kejam pelanggaran HAM muncul kembali.
Deklarasi HAM adalah merupakan dokumen HAM internasional yang paling penting yang berisi panduan atau standar tingkah laku bagi seluruh negara. Artikel 1 Deklarasi menyebutkan :

“Seluruh manusia terlahir bebas dan sama dalam hak dan derajatnya. Mereka dihargai dengan suatu alasan dan kesadaran dan harus juga memandang serta memperlakukan orang lain dalam semangat persaudaraan”.


a. Dokumen Internasional Lain

Tahun 1966 PBB menerima dua kovenan, yaitu :

i. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) 1966
Termasuk didalamnya adalah hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan individu, hak untuk tidak menjadi obyek tindakan kejam, tidak manusiawi atau perlakuan dan hukuman yang merendahkan.
ii. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) 1966
Termasuk didalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan, tempat tinggal, air, makanan dan pelayanan sosial.
iii. Piagam Afrika mengenai Hak Manusia dan Rakyat1986
Piagam ini telah diakui dan terutama ditujukan bagi masyarakat Afrika, terdiri dari hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pembangunan (29 Pasal).



Klausul Pembatasan (menurut Akta HAM Internasional)

Jika polisi atau petugas penegak hukum lain membatasi hak seseorang (yaitu terdakwa) melalui, misalnya, penangkapan, penahanan, penyelidikan kejahatan, dll pembatasan tersebut harus sesuai dengan kondisi :
 Pembatasan yang akan dilakukan harus sesuai dengan hukum. Artinya harus ada hukum atau peraturan yang memberikannya kekuasaan untuk membatasi hak seseorang, misalnya Akta Prosedur Kriminal (utk Afsel).
 Hak-hak yang tercantum dalam Akta HAM internasional hanya dapat dibatasi selama itu memiliki alasan yang jelas. Artinya pembatasan harus masuk akal diberbagai situasi, misalnya jika anda tidak perlu menahan seseorang maka jangan lakukan.
 Pembatasan harus disahkan dalam sebuah masyarakat demokratik dan terbuka berdasar martabat, persamaan dan kebebasan. Artinya nantinya anda harus dapat mempertanggungjawabkan dihadapan pengadilan. Masyarakat yang demokratis dan terbuka berarti tindakan polisi ini juga dilakukan oleh petugas polisi di masyarakat demokratis lainnya dalam situasi yang sama. Dan harus diingat bahwa seseorang tidak bersalah hingga terbukti bersalah dihadapan pengadilan.
 Menurut prinsip-prinsip seperti prinsip proporsionalitas harus selalu dianut. Artinya pembatasan hak seseorang harus seimbang dengan sifat dan keseriusan tingkat kejahatan yang dilakukannya.


Aturan-Aturan HAM Regional

 Sistem Eropa
 Sistem Afrika
 Sistem Inter-Amerika
 Asia Pasifik

Perjanjian Internasional Yang Telah Diratifikasi Oleh Indonesia

a. Hukum HAM International (per 30 Juli 1999)
1. Konvensi Jenewa I-IV, 1949 diratifikasi 30 September 1958
2. Konvensi Deen Haag 1954 diratifikasi 10 Januari 1967

b. Konvensi-Konvensi lain
• 1958 Konvensi mengenai hak politik perempuan yang diadopsi oleh PBB dalam tahun 1952 diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No 68, 1958.
• 1984 Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diadopsi PBB dalam tahun 1979 diratifikasi oleh Indonesia dengan UU no 7/1984.
• 1990 Konvensi mengenai Hak Anak yang diadopsi oleh PBB 20 November 1989, disahkan dengan Keputusan Presiden RI no 36 tahun 1990.
• 1998 Konvensi mengenai Menentang Penyiksaan & Perlakuan Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia diratifikasi oleh Indonesia dengan UU no 5 tahun 1998.
• 1998 Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO no 87 yakni Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi.
• 1999 Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No 29 tahun 1999.

Komponen-Komponen Penting Bagi Penegakan Ham

Ratifikasi artinya: Perjanjian pada tingkat negara untuk melaksanakan ketentuan yang dimuat dalam Konvensi International tersebut. Melalui ratifikasi perjanjian itu mengikat secara nasional sehingga setiap negara yang telah meratifikasi wajib memberikan laporan.

Komisi Hak Asasi Manusia yang bertugas memprakarsai penelitian dan misi pencari fakta, mempersiapkan konsep konvensi dan deklarasi untuk disetujui oleh badan yang lebih tinggi, membahas pelanggaran HAM melalui sidang terbuka atau tertutup dan mengajukan saran untuk memperbaiki prosedur PBB tentang Hak Asasi Manusia.
Setiap negara yang telah meratifikasi harus mengakui kewenangan komisi HAM untuk memeriksa, menengahi dan menerima berbagai keluhan-keluhan yang muncul.

Mahkamah Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan permanen dan diberlakukan atas dasar statuta Roma. Mahkamah ini mempunyai yuridiksi atas tindak kejahatan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Komite HAM (yang khusus mengawasi Kovenan Sipil & Politik) yakni badan pengawas yang memiliki tiga tugas utama yakni (1) mengkaji laporan-laporan (laporan tersebut menyampaikan langkah-langkah yang telah mereka ambil yang memberikan pengaruh pada hak-hak yang diakui oleh kovenan sipil dan politik serta mengenai kemajuan-kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak itu) dari negara yang telah meratifikasi (2) menerima, mempertimbangkan dan menengahi keluhan dari satu anggota mengenai anggota lain yang dinilai melanggar ketentuan dalam kovenan tersebut (3) menerima, mempertimbangkan dan menengahi keluhan-keluhan dari satu individu-individu dari suatu negara yang merasa dilanggar haknya

Kewajiban & Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung-jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum International tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia
Pasal 72: Kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain



KORBAN


Dalam penegakan HAM kiranya korban memang kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Berbagai korban pelanggaran HAM berjatuhan akan tetapi perlindungan atau pembelaan pada korban masih sangat minim. Bahkan pengertian siapa sebenarnya yang patut dikatakan sebagai korban juga masih menjadi perdebatan hangat. Padahal dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power) terutama dalam frase-frase dari paragraph 1 dan 2 dijelaskan kalau

“Korban berarti orang yang secara perorangan atau kelompok menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak mereka”

“……Istilah korban juga termasuk-sejauh dipandang tepat-keluarga langsung atau orang yang secara langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban yang sengsara atau dalam mencegah orang-orang agar tidak menjadi korban”

Apa yang menjadi ketentuan umum terhadap korban? Dalam
Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Para Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No 40/34 tertanggal 29 November 1985) menyatakan ketentuan sebagai berikut:

1. Para Korban berhak untuk mendapatkan penggantian segera atas kerugian yang mereka derita
2. Mereka harus diberitahu tentang hak mereka untuk mendapatkan ganti rugi
3. Para pelaku atau pihak ketiga harus memberi restitusi yang adil bagi para korban, keluarga dan tanggungan mereka. Penggantian demikian harus mencakup pengembalian hak milik atau pembayaran atas derita atau kerugian yang dialami, penggantian atas biaya-biaya yang dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi tersebut dan penyediaan pelayanan serta pemulihan hak-hak
4. Bilamana kompensasi tidak sepenuhnya didapat dari pelaku atau sumber-sumber lainnya, negara harus berusaha menyediakan kompensasi keuangan
5. Para korban harus mendapat dukungan dan bantuan material, pengobatan, psikologis dan sosial yang diperlukan

Pasal - Pasal Gerakan Sosial dan Beberapa Catatan Penting

Pasal I: Gerakan Sosial.

I.1. Dasar-dasar Pengertian tentang Gerakan Sosial.
Pengertian gerakan sosial, sangat sulit untuk dijadikan baku. Setiap pihak, baik yang terlibat dalam gerakan ataupun yang tidak (tetapi menaruh perhatian), tentu akan memiliki pengertian tersendiri, yang bergantung kepada: (a) pandangan tentang persoalan sosial yang berkembang; (b) arah dan watak perubahan (sosial); (c) instrumen; (d) pihak-pihak yang terlibat; dan (e) pola atau bentuk. Ada yang menganggap bahwa gerakan sosial adalah segala bentuk respon masyarakat, dengan demikian spontanitas dihargai, dan perencanaan, serta analisis sosial tidak dipentingkan. Sebaliknya, ada yang memandang bahwa gerakan sosial sebagai suatu upaya sadar (terencana), respon konstruktif terhadap kondisi yang timpang (ketidakadilan dan ketidaksetaraan), dalam bentuk langkah-langkah terorganisasi dengan baik, memiliki tujuan, dilengkapi dengan taktik dan strategi berdasarkan analisis sosial dan mengkalkulasi “menang dan kalah”.


Aksi
Demontrasi
Komponen yang terlibat.
Bentuk-bentuk yang digunakan.
Instrumen
Karakter/sifat
Dasar kemunculan.
Apa


Gerak adalah suatu proses perpindahan, dari satu tempat/keadaan kepada tempat/keadaan baru. Gerakan bermakna keadaan bergerak atau usaha untuk bergerak. Gerakan sosial
Variasi: kondisi obyektif dan subsyektif; sumberdaya; dan asumsi-asumsi dasar (nilai, paradigma, dll).
Sifat
Tujuan dan sifat tujuan
Pola/bentuk


Urgensi gerakan sosial.
Langkah-langkah managemen gerakan sosial.
Aspek-aspek gerakan sosial.
Ciri-ciri gerakan (berhasil dan gagal).
Sumberdaya gerakan sosial
Kalkulasi sumberdaya
Model dan pendekatan mobilisasi.



Pasal II: Teknik-teknik Pemberdayaan.
Teori umum perubahan sosial.
Mengelola Perubahan.
Refleksi pengalaman
Pendidikan dan Penerangan.
Teknik infiltrasi (memadukan kepentingan).
LSM dan Proses Pemberdayaan Rakyat.
Model Latihan Kepemimpinan.



Pasal III: Mengembangkan Jaringan Advokasi.
Advokasi dan perubahan sosial.
Advokasi dan sang advokat.
Refleksi LSM dalam advokasi
Pendidikan dan penerangan.
Teknik infiltrasi
LSM dan proses pemberdayaan rakyat.
Model pelatihan kepemimpinan



Pasal IV: Managemen Konflik Sosial.
Disorganisasi sosial dan dampaknya.
Pengendalian sosial.
Variabel krisis dan intervensi
Parangkat analisis dan paramater
Managemen konflik: model pendekatan dan simulasi.


Pasal V: Mengembangkan Gerakan Pantang Kekerasan.
Gandhi dan ajaran pantang kekerasan
Kekerasan dan strategi mengatasi
Peluang gerakan pantang kekerasan.


Catatan Untuk Mas Wilarsa.
Untuk keperluan Mas Willy dalam menyampaikan atau mempersiapkan materi, berikut ini saya sampaikan beberapa hal yang mungkin dapat membantu. Seandainya, catatan ini tidak mencukupi, maka dalam pertemuan di Yogya, dapat kita diskusikan kembali. Secara prinsip materi dapat di”ubah”, dalam pengertian level materi dapat diturunkan (atau dinaikan) sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan waktu. Saya akan sangat senang bila Mas Willy memiliki catatan (usulan kongkrit), bila memang dipandang, materi yang akan disampaikan terlalu berat untuk masa kursus yang singkat. Kira-kira begini:

Pertama:
1. Peserta adalah (a) aktivis LSM (16) –dengan masa keterlibatan yang bervariasi 3 – 15 tahun; bidang kerja yang juga bervariasi –ekonomi (pengembangan ekonomi rakyat), lingkungan, dan hukum; dan (b) mahasiswa.
2. Komposisi perserta dari Jawa 8 orang dan luar Jawa (Sumatera, Timor Timur, Irian, Lombok).
3. Pengalaman pelatihan sangat beragam, sebagaian ada yang telah mengikuti berbagai pelatihan (seperti dari Bina Desa dan Walhi), sebagaian “baru”.
4. Untuk sementara ini, terdapat beberapa kesan untuk perserta, yakni pada sebagian mereka merasa mendapatkan materi yang relatif baru, dan sebagaian merasa mengulang (lihat bagan pikiran CEFIL).

Kedua:
Materi untuk Managemen Gerakan Sosial (lihat kerangka). Adapun cara berpikir untuk materi tersebut?
Masalah Pemberdayaan..
Pemahaman mengenai gerakan sosial, urgensi, bentuk, karakter dan berbagai segi lainnya, mengantarkan kepada pertanyaan yang lebih lanjut: bila gerakan sosial bertendesi mengubah, maka ke arah perubahan yang hendak dituju? Apa yang akan terjadi dalam perubahan tersebut? Bagaimana dengan gerakan sosial itu sendiri? Apakah gerakan sosial sebagai suatu entitas akan hilang begitu saja ketika gerak perubahan sedang bergulir? Ataukah gerakan akan turut serta dalam dinamika perubahan dan sekaligus ambil bagian untuk memberikan jaminan atau memastikan ditempuhnya arah sebagaimana yang direncanakan. Jawaban untuk pertanyaan ini diharapkan bisa diperoleh melalui pembahasan “model perubahan”, “dinamika perubahan” dan prinsip dasar pemberdayaan yang berparadigma transformasi.
Dalam hal ini, meskipun terdapat banyak model perubahan yang bisa ditempuh oleh suatu gerakan sosial, namun “pilihan” yang hendak ditawarkan adalah suatu perubahan yang berbentuk transformasi. Dengan demikian, uraian singkat dan eksplorasi mengenai transformasi, diperlukan, terutama untuk memberikan pengertian yang lebih “mendalam” dan sekaligus memberikan argumen atas pilihan arah tersebut. Selain itu, pembahasan sekaligus akan memberikan dasar bagi bentuk pemberdayaan dengan paradigma transformasi.
Berangkat dari asumsi bahwa perserta adalah pihak yang sudah bekerja untuk proses pemberdayaan, maka menjadi penting suatu proses refleksi atas apa yang pernah dilakukan. Hal ini, tidak saja untuk memetakan posisi “paradigma” proses pemberdayaan yang sudah dilakukan, tetapi juga untuk memberikan bobot baru, kritik dan rekomendasi bagi proses pemberdayaan di depan. Pengalaman LSM (atau aktivis mahasiswa), diupayakan untuk digali dan dilihat dengan seksama: apakah proses yang selama ini berjalan merupakan hal yang sungguh-sungguh memperkuat rakyat, ataukah sebaliknya? Tentu saja refleksi bukan suatu pengadilan. Lebih jauh dari refleksi tersebut diharapkan diperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai segi-segi mendasar dari suatu pemberdayaan, khususnya yang mengarah kepada pemberdayaan untuk suatu perubahan yang terlembaga.
Selain itu, untuk keperluan praktis, diperlukan suatu gambaran kongkrit (contoh) mengenai metode pemberdayaan yang masuk dalam kategori tersebut: pemberdayaan untuk perubahan yang terlembaga. Teknik-teknik seperti agitasi dan propaganda, provokasi, sampai pada “infiltrasi”, penting pula disampaikan kepada peserta, terutama untuk memperkaya mereka ketika bekerja di lapangan.

Jaringan Advokasi
Titik tekan dalam segi ini, bukan kepada advokasi. Sebab bagaimana pun pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian yang tidak terpisah dari proses advokasi. Namun demikian, mengingat keragaman peserta, maka tidak ada salahnya bila ada semacam “ulangan” mengenai hal-ihwal diseputar advokasi. Diharapkan dengan “ulangan” tersebut, dapat terjadi pandangan yang relatif sama terhadap makna advokasi. Dalam hal ini tentu bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan pikiran, melainkan untuk memberi dasar-dasar yang sama, ketika melangkah membahas mengenai jaringan: bagaimana mengembangkan dan mengelola jaringan advokasi yang berpengaruh.
Di kalangan NGO, advokasi dewasa ini dapat dikatakan menjadi semacam “garis perjuangan” baru. Dalam banyak kesempatan orang bicara advokasi. Layaknya mode, advokasi berkembang sangat luas. Hal ini dapat bermakna positif, tetapi dapat pula menjadi hal yang negatif. Untuk karenanya diperlukan semacam refleksi terhadap pengalaman advokasi, terutama untuk melihat dengan jelas apa yang ingin disebut disini sebagai jebakan-jebakan dalam advokasi. Adalah penting mengenai bentuk advokasi dan jaringan yang ingin dikembangkan, agar tidak lalai dan senantiasa kritis terhadap pekerjaan-pekerjaan yan dilahirkan.

Ketiga,
Untuk sementara ini, bahan-bahan yang dibutuhkan masih belum tersedia secara sistematik (masih tentatif). Bila mas Willy mempunyai usulan-usulan, atau bahan yang dianggap dapat mendukung akan lebih baik. Di Yogya nanti tinggal di perbanyak saja.

Demikian untuk sementara.

Dari saya:

Dadang Juliantara.

Gerakan Sosial

MANAGEMEN GERAKAN SOSIAL

I. Pengertian dan Cakupan.
Bagian ini mendasarkan kepada asumsi bahwa diperlukan suatu tindakan, upaya sistematik, dan berkesunggungguhan untuk mengupayakan perbaikan atau perubahan, atas suatu kondisi yang dinilai tidak sesuai dengan harkat kemanusiaan dan keadilan. Suatu gerakan sosial dalam hal ini dipahami sebagai upaya seksama mendorong (mengupayakan) perubahan kepada keadaan yang lebih baik dan bermakna. Patut diakui pula bahwa konsep perubahan memiliki keluasan dan pluralitas makna, yang sangat bergantung kepada sudut pandang dan paradigma yang dipergunakan dalam melihat persoalan yang ada. Oleh karena itulah, gerakan sosial dipahami dalam kerangka yang sangat umum. Managemen gerakan sosial dengan demikian berarti pengembangan usaha managerial, yakni mengusahakan dan mengelola sumberdaya yang ada, agar memiliki fungsi yang produktif dan maksimal, dalam mendukung gerak langkah mendorong perubahan. Pada intinya akan dibahas mengenai bagaimana memberikan respon yang konstruktif terhadap situasi dan kondisi yang memuat ketidakadilan kepada suatu keadaan yang lebih baik dan bermakna, dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan demokrasi.
Untuk itu, bagian ini akan meliputi lima topik: Pertama, mengenai gerakan sosial dalam perspektif perubahan sosial. Yakni membahas tentang gerakan, baik bentuk, ciri, watak dan berbagai variabel lain, dengan contoh yang relevan. Kedua, mengenai teknik-teknik memperkuat (pemberdayaan massa rakyat). Bagian ini didasarkan pada keyakinan bahwa suatu perubahan yang demokratik hanya akan mungkin bergulir dengan suatu keterlibatan partisipatif dari rakyat. Ketiga, mengenai advokasi dan jaringan kerja, sebagai bagian dari instrumen untuk mendorong ke arah transformasi. Keempat, mengenai konflik dan teknik resolusi. Segi penting yang akan dibahas adalah mengenai tempat konflik dalam tatanan masyarakat, dan sekaligus pandangan mengenai konflik yang dihadapkan kepada pemikiran harmoni. Kelima, mengenai gerakan aktif tanpa kekerasan. Sub-bagian ini, mengupayakan eksplorasi konsep anti-kekerasan yang dikembangkan oleh Gandhi dan melihat prospek gerakan anti-kekerasan di Indonesia.

II. Gerakan Sosial.
Dalam pemahaman umum, gerakan selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk memberikan respon atau reaksi atas kondisi tertentu. Bila dilihat dari sifat [bagaimana munculnya gerakan, dan sebab-sebab yang mendasari] dan tujuan [sesuatu yang ingin dicapai, dan atas dasar apa tujuan tersebut ingin dicapai], maka dapat dikatakan bahwa terdapat dua tipe (karakter) umum gerakan, yakni: Pertama, memahami gerakan sosial sebagai suatu reaksi spontan, yang tidak berujung pangkal, menggunakan jaringan informasi yang tidak tertata (bukan dikonstruksi secara sengaja), terhadap suatu keadaan tertentu. Kedua, memahami gerakan sosial sebagai gerakan terorganisir dengan tujuan, strategi dan cara-cara yang dirumuskan secara jelas, sadar dan didasarkan kepada suatu analisis sosial.
Pada yang pertama menunjuk suatu sifat spontan, emosional, dan tanpa suatu perencanaan yang jelas. Bahkan tanpa sarana organisasi yang kuat. Tipe yang demikian dapat ditemukan dalam berbagai contoh yang hidup di masyarakat, seperti aksi pembakaran tebu di desa-desa sebagai bentuk protes petani, rumor atau gosip di warung-warung kopi, dan berbagai bentuk lainnya [sebagai bahan perbandingan lihat: James C. Scott, Moral Ekonomi Petani; dan Hairus Salim, Amuk Banjarmasin]. Ciri dasar gerakan tipe ini adalah sifatnya yang merupakan reaksi langsung atas ancaman yang sudah “hadir dihadapan”. Reaksi bersifat spontan dan kerapkali tidak dapat ditemukan kelanjutannya. Bentuk-bentuk “resistensi” spontan masyarakat dalam menolak penggusuran (penyerobotan) tanah, merupakan contoh yang juga sangat mudah dijumpai dalam konteks Indonesia masa kini.

Tahap Gerakan dan Syarat-syarat.
Tahap-tahap gerakan. Suatu gerakan yang tidak bersifat spontan, terencana, tentu saja memiliki sejumlah tahap yang dilalui. Tahap yang dimaksudkan disini, tentu saja tidak perlu dilihat sebagai langkah-langkah yang bersifat mekanistik, yang berurut dan merupakan fungsi waktu, melainkan tahap yang dialektis (bergantung kepada situasi dan perkembangan sosial yang ada). Adapun tahap yang dimaksud adalah: Pertama, suatu fase yang disebut dengan proses perumusan persoalan sampai akhirnya membentuk semacam “ideologi” atau cita-cita perubahan. Aspek yang terumuskan antara lain: apa yang akan diubah, apa yang akan dilakukan dan kemana arah perubahan tersebut [tujuan yang ingin dicapai]. Perumusan ideologi gerakan, sungguh bukan pekerjaan akademik, melainkan menjadi bagian dari upaya ke arah perubahan itu sendiri. Penting pula disadari bahwa pekerjaan perumusan tersebut, membutuhkan data akurat, yang pada akan sangat menentukan apakah masalah yang ada dipahami secara benar ataukah tidak.
Kedua, inti dari gerakan pada dasarnya adalah suatu daya ubah, atau daya dorongnya bagi kelangsungan suatu perubahan. Dengan demikian, gerakan membutuhkan kekuatan. Maka pada tahap selanjutnya, diperlukan proses pengembangan, perekrutan, atau pencarian anggota, simpatisan atau mereka yang akan ikut memikul beban dalam mewujudkan cita-cita perubahan yang ingin dicapai. Sejalan dengan usaha perekrutan tersebut, organisasi gerakan dibentuk, dengan tahapan yang sistematik [dimulai dari kelompok kecil, komite, sampai pada pembentukan organisasi dan jaringan kerja yang lebih luas]. Gerak maju gerakan akan sangat ditentukan oleh kapasitas dan kualitas organisasi yang terbentuk.
Ketiga, suatu proses pengembangan selanjutnya, dimana gerakan akan menghadapkan ideologi perubahan [ideologi gerakan] dengan ideologi lawan [konservatisme]. Dalam tahap ini, gerakan akan menghadapi situasi yang dinamik [penuh dengan kontradiksi]. Kemampuan untuk mengatasi ideologi lawan, akan menjadi indikasi apakah gerakan akan mencapai titik yang dituju, atau akan memetik kegagalan. Hal yang tidak bisa diabaikan adalah bahwa gerakan selain menghadapi kekuatan “lawan”, juga akan berhadapan dengan (1) publik yang menjadi bagian atau pengikut ideologi lawan; dan (2) mereka yang sebetulnya menjadi partisipan, akan tetapi tidak menunjukan suatu kualitas yang mendukung gerakan secara nyata. Tugas dari gerakan adalah mengubah “publik lawan” menjadi partisipan, dan mendorong partisipan pasif menjadi kekuatan aktif pendukung gerak maju gerakan.
Keempat, merupakan tahap “konsolidasi” atau pelestarian hasil capaian. Dalam konteks tertentu, tahap ini memuat pula apa yang disebut sebagai “eliminasi” bagian dari gerakan yang dianggap tidak patuh atau berpotensi mengurangi [mendistorsi] makna/capaian gerakan. Suatu gerakan demokrasi, sebagai contoh, pada fase ini berarti memasuki suatu tahap dimana rejim lama telah berhasil ditumbangkan, dan proses konsolidasi untuk membangun tatanan bersendi demokrasi segera dimulai. Banyak kasus yang memperlihatkan bahwa proses konsolidasi tersebut tidak bisa berjalan mulus, sebab (1) masih adanya kekuatan lama yang bercokol; dan (2) dinamika dikalangan penggerak demokrasi, yang masih menganggap proses masih harus dijalankan, khususnya untuk “melumatkan” seluruh potensi masa lalu. [Untuk memperkaya, lihat: Samuel P. Hutington, Gelombang Demokratisasi Ketiga].
Ciri dan syarat keberhasilan suatu gerakan. Pertama, gerakan tidak membiarkan dirinya dalam situasi stagnan. Upaya untuk memperkembangkan terus dihidupkan. Kedua, membutuhkan dukungan organisasi yang kuat dengan jaringan kerja yang luas [pada semua level dan skala]. Jaringan kelompok atau jaringan pendukung akan sangat menentukan perolehan keberhasilan suatu gerakan. Kekuatan eksternal tersebut akan menjadi bagian penting dalam “menekan” atau mencapai hasil-hasil yang diinginkan. Ketiga, pengalaman dalam kelompok-kelompok pergerakan menegaskan tentu perlunya kedisiplinan dalam proses perekrutan, agar pendukung gerakan adalah mereka yang benar-benar memaknai “ideologi gerakan” dan bukan “anggota intelegen” yang menyusup. Keempat, mengembangkan sistem perekrutan yang tiada mengenal berhenti. –terus menerus memperluas partisipan. Kelima, pada gilirannya suatu kekuatan gerakan perlu mengembangkan atribut tersendiri, baik dalam kerangka untuk memperkuat (memantapkan konsolidasi), juga menjadi semacam rekat sosial bagi para partisipan. Keenam, pada umumnya, proses pencapaian tujuan tidak berjalan cepat, tetapi kerapkali memakan waktu hingga beberapa dasawarsa. Dalam konteks inilah gerakan perlu membuat rumusan yang lebih jelas mengenai masa depan yang dituju, sehingga setiap partisipan dapat menangkap dengan jelas ke arah mana energi mereka hendak ditujukan.

Gerakan Terorganisir.
Gerakan Teroganisir. Suatu gerakan untuk perubahan pada dasarnya merupakan proses berhadapan, antara kekuatan yang mempertahankan keadaan, dan kekuatan yang menghendaki peruba¬han (perbaikan atau perombakan). Dalam konteks ini, gerakan, tidak saja ditentukan oleh kualitas kepahamannya terhadap kenyataan sosial yang ingin diubahnya, atau pada tujuan yang hendak dicapainya, melainkan juga pada bagaimana cita-cita tersebut dicapainya. Masalahnya inilah yang akan mengantarkan kepada pembahasan tentang bagaimana suatu gerakan bergerak. Dengan instrumen yang bagaimana gerakan tersebut mengartiku-lasikan dan memperjuangkan kepentingan (cita-cita sosialnya).
Dengan demikian cara kembang gerakan dan cara gerakan mencapai tujuannya, sesungguhnya menjadi salah satu faktor yang amat menentukan, apakah suatu gerakan akan dapat menca¬pai cita-citanya, ataukah hanya akan kandas dalam catatan sejarah belaka. Artinya, suatu gerakan tidak cukup hanya memiliki sejumlah instrumen, seperti perencanaan dengan analisis sosial yang ketat, tujuan, massa pendukung, dan sumberdaya yang lain, tetapi juga memerlukan instrumen yang mengelola berbagai sumberdaya yang ada secara baik.
Suatu gerakan yang terorganisir, mensyaratkan adanya pengelolaan, pengaturan, pengendalian dan sinergi, antar berbagai komponen yang ada, baik berupa sumberdaya manusia, gagasan, logistik, dan lain-lain. Dalam hal ini yang dikenda¬likan, bukan saja sesuatu yang berada didalam, tetapi juga yang berada diluar. Justru disinilah nilai tambah dari gera¬kan yakni ketika instrumen yang ada mampu mengembangkan sumberdaya seluas-luasnya, dan berjalan dalam kendali serta pengelolaan organisasi yang ada.
Suatu gerakan terorganisir tidak berarti berbicara menge¬nai gerak langkah suatu kelompok tertentu, yang lepas dari kelompok yang lain. Justru gerakan terorganisir, lebih mene¬kankan kepada suatu usaha bersama dari berbagai kelompok yang ada, yang memiliki tujuan yang sama, dan dapat bekerjasama dalam kapasitas tujuan yang sama, sehingga gerak langkah dan pemanfaatan sumber-sumber gerakan dapat optimal dan sinergis. Untuk mencapai gerakan yang terorganisir, bukan saja membu¬tuhkan (1) kecakapan aktivisnya (kader) dalam menggalang dan mengembangkan sumberdaya dan jaringan kerja; namun juga (2) organisasi yang solid, berdisplin, dengan kepemimpinan yang efektif.


Strategi Pemberdayaan: Ke Arah Perubahan Sosial.
Suatu strategi adalah jalan untuk mencapai tujuan. Dengan pengertian ini, bukan saja dibutuhkan kemampuan untuk memban¬gun jalan tersebut secara baik, dan memberikan keselamatan kepada mereka yang melaluinya, tetapi juga patut melengkapi diri dengan pengetahuan yang akurat tentang route yang akan dilalui, atau posisi berdiri kita sendiri, dan posisi berdiri dari kekuatan anti perubahan. Maka mengembangkan suatu stra¬tegi membutuhkan paling tidak: (1) suatu pengetahuan yang menyeluruh, kritis dan obyektif, mengenai kekuatan penghalang perubahan (status quo) dan sekaligus peta seluruh kekuatan yang ada, termasuk analisis (data) dengan kejujuran kekuatan internal yang dimiliki; dan (2) suatu tata susunan langkah-langkah yang akan diambil sehubungan tujuan yang ingin dicapai dikaitkan dengan kenya¬taan-kenyataan yang ada mengenai “kekuatan penghalang perubahan”. Suatu strategi yang baik, dalam hal ini tidak ditentukan oleh suatu kecerdasan individual, melainkan oleh hasil kerja bersama, terutama untuk bisa memperoleh data yang akurat mengenai masalah-masalah sosial yang menjadi “tujuan perubahan” dan kekuatan yang tidak menghendaki perubahan tersebut berlangsung (rejim konservatif). Tanpa suatu pengetahuan yang akurat, maka strategi tidak lebih merupakan dogma atau impian, yang sangat mungkin merupakan alamat untuk kehancuran (lihat draft bahan kursus).
Suatu gerakan untuk perubahan sosial di tengah struktur yang timpang dan kultur yang menekan pertumbuhan kreativitas dan daya hidup masyarakat sipil, maka patut melambari gerak langkahnya dengan strategi yang tepat. Patut disadari bahwa setiap rejim anti-perubahan, akan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan status quo. Oleh sebab itu, para partisipan perubahan hendaknya tidak mudah dikecoh silat kata yang dilakukan rejim anti-perubahan. Kadang kala perjuangan untuk mendorong munculnya kebijakan-kebijakan yang memihak masyarakar sipil bisa dilakukan, namun terdapat bukti yang meyakinkan bahwa kebijakan tersebut begitu mudah dikebiri dan dibuat mandul. Menjadi sangat jelas bahwa tanpa adanya kekuatan kontrol yang efektif dari masyarakat, maka suatu perubahan yang substansial tidak akan mungkin berjalan konsisten. Artinya, diperlukan strategi dua langkah sekali¬gus, yakni: Pertama, melakukan tindakan-tindakan guna mengubah kebijakan dan menghadirkan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat sipil. Langkah ini diproyeksikan sebagai upaya untuk memperluas ruang masyarakat sipil untuk mengembangkan kapasitas kritisnya, dengan bebas dan terjamin secara hukum; dan Kedua, mempersiapkan basis pendukung proses perubahan sosial yang menyeluruh [lihat mengenai pengorganisasian]. Tindakan ini diproyeksikan untuk mengembangkan suatu level kesadaran tertentu di kalangan masyarakat sipil dan pada gilirannya menjadi pijakan dalam membangun organisasi-organisasi masyarakat sipil, yang independen. Muara dari dua langkah tersebut tidak lain dari upaya untuk memberdayakan masyarakat sipil.
Pemberdayaan dalam konteks ini berarti suatu perbaikan kualitas hidup rakyat yang diukur tidak hanya dari peningkatan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga partisipasi (keikutsertaan) dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka dan partisipasi aktif dalam percaturan kekuasaan di semua tingkatan. Arah perubahan dari proses pemberdayaan ini adalah terwujudnya masyarakat baru dengan prinsip demokrasi, dimana rakyat mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan kepentingannya; lelaki dan perempuan berbagi peran dan kekuasaan secara adil dan setara. Dengan demikian diperlukan suatu analisis kritis, baik yang berkait dengan struktur ketidakadilan dan relasi gender. Model analisis inilah yang akan dapat memandu arah perubahan sosial yang sesungguhnya, dan bukan sekedar suatu proses pergantian kepemimpinan atau suatu sirkulasi kekuasaan belaka. Dalam strategi ini, diharapkan rakyat dapat mengubah realitasnya dan menciptakan masyarakat baru bersendi demokrasi dan berkeadilan. Maka menjadi tidak terelakan suatu kebutuhan untuk melakukan proses pengorganisasian, sebagai basis dasar dari pendampingan.
Model Perubahan Sosial. Telah disebutkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat memiliki ujung untuk mendorong kepada suatu perubahan sosial. Namun demikian, patut diakui bahwa pemahaman mengenai perubahan sosial tidak tunggal. Untuk itu, perlu pula dipahami model penapsiran mengenai perubahan.

Teknik-tektik Pemberdayaan.
Yang dimaksud dengan teknik pemberdayaan disini adalah berbagai jalan (upaya) yang dapat dilakukan dalam kerangka untuk memperkuat (memberdayakan) masyarakat. Usaha ini sendiri, dapat bersifat: (1) Ke dalam, yakni suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan desakan ke arah perubahan, dan disisi lain semakin mampu memproteksi diri dari berbagai tekanan yang merugikan. Pengorganisasian dan berbagai bentuk resistensi rakyat, merupakan sebagian dari usaha ke dalam. Dengan pengorganisasian diharapkan muncul organisasi rakyat. Dengan resistensi (ke pengadilan, parlemen, dan lain-lain), diharapkan rakyat makin terlatih dan meningkat kapasitas kritisnya; dan (2) ke luar, yakni usaha untuk menambah kapasitas daya tawar masyarakat dengan jalan mempengaruhi pihak penekan, atau pihak-pihak yang semula belum mendukung rakyat.
Adapun teknik yang akan dibahas: pertama, pengorganisasian (teknik ke dalam); kedua, agitasi dan propaganda; dan ketiga, mempengaruhi kedalam (dikalangan penindas rakyat), dalam bahasa umum yang dikenal sebagai infiltrasi.

Pengrorganisasian. Pengorganisasian dalam konteks perubahan sosial, menjadi titik strategis yang harus mendapat perhatian lebih seksama. Keberhasilan mencapai titik perubahan, akan sangat ditentukan oleh pekerjaan pengorganisasian. Tanpa suatu pengorganisasian yang memadai, kuat dan sistematik, maka agenda perubahan sosial akan senantiasa bergantung kepada niat baik kekua¬saan, pasar politik, atau situasi lain yang tidak pasti. Satu-satu faktor yang akan memastikan bahwa perubahan sosial akan berjalan dalam rel yang benar adalah kekuatan organisasi rakyat, yang dipandu oleh kepemimpinan dan garis politik yang memihak kepada rakyat.
Segi penting dari pengorganisasian adalah: (1) merupakan jalan untuk membangun kekuatan dan meningkatkan kapasitas masyarakat sipil, yang pada gilirannya diperlukan dalam memastikan gerak konsisten perubahan sosial; (2) memperluas dukungan massa yang sadar akan arti penting perubahan, sehingga meminimalkan faktor-faktor yang menghambat gerak perubahan; dan (3) secara siste¬matik mempersiapkan pendukung dalam tata sosial yang baru, sehingga masa depan perubahan, akan lebih jelas berlangsung dan siapa pelaku utamanya.
Pengorganisasian yang dimaksud disini adalah segi lain dari pengorganisasian dalam kerangka advokasi [lihat bagian advokasi]. Dalam proses advokasi sendiri, diperlukan peng-organisasian, khususnya penggalangan kekuatan yang dapat mendukung advokasi. Sedang-kan dalam kerangka strategis, pengorganisasian disini lebih spefisik kepada pengorganisasian tingkat basis, massa rakyat, yang paling menderita akibat dari ketim-pangan sosial. Pengorganisasian disini secara kongkrit merupakan kegiatan: Pertama, membangun organisasi rakyat (baru atau memperkuat) dengan orientasi perubahan berbasis keadilan sosial; dan Kedua, mempersiapkan suatu tatanan baru yang demokratik.

Agitasi dan Propaganda. Pengertian ini sangat dikenal di jaman pemerintahan Soekarno. Sifat rejim yang anti-politik (rejim pertumbuhan ekonomi), menjadikan istilah tersebut menjadi nista, haram dan dilarang. Sebagai suatu teknik (dalam politik), tentu saja agitasi dan propaganda tidak dapat diabaikan. Dalam batas tertentu, pendidikan dan penerangan, merupakan ungkapan lain dari praktek agitasi dan propaganda.
Agitasi mempunyai makna sebagai upaya untuk mengungkapkan atau membongkar segi-segi yang terselubung (diselubungi). Dalam konteks berpikir, maka tindakan agitasi berarti melakukan bahasan kritis terhadap suatu persoalan, hingga menemukan akar masalah. Hal yang sensitif adalah bahwa praktek ini tidak netral, tetapi memihak. Lagi pula, pengungkapan kritis tidak dilakukan secara terbatas atau tertutup. Dan tidak jarang pembongkaran tersebut ditujukan sebagai “serangan” kepada pihak lawan. Pada prakteknya, agitasi dilakukan baik kepada pelaku (penindasan) atau mereka yang menjadi korban. Tujuan dasarnya adalah (1) untuk meningkatkan kesadaran rakyat (korban) dan (2) memperluas dukungan.
Propoganda. Praktek penerangan (sebagaimana dilakukan departemen penerangan), merupakan suatu bentuk propaganda. Dalam kamus webster, didefinisikan sebagai suatu metode untuk menyebarluaskan doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan seterusnya, apakah yang bersifat religius maupun sekuler; untuk menyebarluaskan prinsip atau gagasan-gagasan dengan usaha mengorganisir. Propaganda bukan suatu tindakan kriminal. Hampir semua kelompok menggunakan teknik ini, baik untuk menambah partisipan, pengikut, umat, atau pembeli. Kampanye dengan berbagai bentuknya, merupakan praktek propaganda. Film-film Amerika adalah juga bentuk-bentuk propaganda. Jadi propaganda bukan tindakan menyebarkan fitnah atau berita bohong. Agitasi tanpa suatu propaganda, sama dengan kemarahan.
Tujuan propaganda. (1) untuk mengubah nilai-nilai yang dianggap merugikan atau mempunyai watak ketidakadilan, dengan nilai-nilai baru yang berbobot demokrasi dan keadilan; (2) untuk melibatkan rakyat (masyarakat) luas dalam usaha-usaha mencapai demokrasi. Tujuan ini dengan sendirinya mensyaratkan: (i) pelaku propaganda, propaganis, haruslah memiliki analisis sosial yang kuat; (ii) memiliki dedikasi yang tinggi, yang telah dibuktikan masyarakat, sehingga perkataannya dapat dipercaya; (iii) melandaskan diri kepada kejujuran, agar tidak terjebak kepada fitnah atau politik rendahan. Propaganda dapat dilakukan dalam banyak bentuk, tertulis, lisan, dan dengan menggunakan sarana multimedia.

Infiltrasi. Dalam pengertian militer (intelegen), infiltrasi berarti penyusupan, atau bekerja di tempat musuh. Teknik ini memang banyak mengundang perdebatan, sebab mengandung ciri ketertutupan (gerakan tertutup). Serikat-serikat rahasia, pada umumnya menggunakan cara ini. Kalangan intelegen, merupakan pihak yang paling biasa menggunakan teknik ini. Suatu infiltrasi ingin mendapatkan: (1) informasi yang lebih luas mengenai “kekuatan musuh”; (2) menggalang kekuatan di dalam, sehingga dapat memperlemah musuh; (3) memecah belah musuh, sehingga kekuatannya melemah. Dilihat dari prinsip kerja dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa teknik infiltrasi lebih toleran dengan pelanggaran terhadap prinsip yang ingin diperjuangkan.

Apakah berbagai teknik tersebut dapat dikatakan negatif?
IV. Advokasi dan Jaringan Advokasi.
Secara prinsip advokasi adalah bagian dari “teknik-pemberdyaaan”. Advokasi bukanlah usaha untuk perubahan secara mendasar, atau bukan jalan untuk perubahan sosial Advokasi, dalam konteks perubahan sosial, adalah bagian, atau tahap-tahap, yang pada gilirannya akan menjadi bata merah perubahan so¬sial. Pilihan advokasi, dalam batas tertentu, adalah pilihan yang kompromis dihadapan sistem yang otoriter. Oleh sebab itu, gerakan perubahan sosial harus dengan jelas menyadari fungsi, tujuan dan berbagai keterbatasan dalam proyek advokasi. Arah advokasi adalah mengubah kebija¬kan. Hal ini bisa dalam pengertian: (1) mengadakan dari belum ada; (2) memperbaiki; (3) memperkuat yang ada; atau (4) mengubah yang ada, dan menggantikannya dengan sesuatu yang sama sekali baru. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa proyek advokasi, merupakan pekerjaan yang masih dalam bingkai sistem yang ada. Akan tetapi patut ditegaskan kembali, bahwa penger¬tian ini tidak dengan sendirinya mengabaikan potensi strate¬gis dari advokasi. Pilihan advokasi, harus dengan sendirinya disadari bahwa proyek tersebut merupakan cermin dari posisi lemah yang dimiliki oleh suatu gerakan.
Suatu kebijakan pada dasarnya mengandung tiga unsur (muatan) penting: (1) isi atau muatan dari kebijakan; (2) lembaga atau perangkat pelaksana kebijakan; dan (3) budaya atau lingkungan dimana kebijakan akan diberlakukan. Suatu kebijakan, kualitasnya akan sangat ditentukan oleh tiga unsur tersebut. Bila salah satu tidak tersedia, maka dapat dikata-kan bahwa kebijakan tersebut pincang, mandul, atau tidak lagi bernyawa. Dalam konteks hak-hak asasi masyarakat, khususnya hak berserikat, berkumpul dan berpendapat, misalnya, diketahui bahwa konstitusi memberikan jaminan, namun berbagai aturan di bawah konstitusi dan sikap para penyelenggara kekuasaan sama sekali tidak sesuai dengan konstitusi. Akibatnya perwujudan hak asasi tersebut tidak ada, bahkan yang terjadi adalah berbagai bentuk pengingkaran, pelecehan dan sikap merendahkan konstitusi. Proyek advokasi, sesungguhnya akan bekerja dengan sepenuh tenaga, memuntahkan peluru kepada tiga unsur terse¬but, yakni: Pertama, mengarah kepada isi kebijakan; Kedua, mendorong pelaksanaan; dan Ketiga, mempersiapkan lingkungan yang mendukung pelaksanaan.
Dalam kepahaman yang paling umum, terdapat tiga bentuk ak¬tivitas yang sudah sangat sering dijalankan oleh aktivis LSM/Ornop:

Pertama, mengadakan, mengusahakan dan mempromosi¬kan secara sistematik gagasan-gagasan baru, atau yang menjadi kritik terhadap gagasan lama, baik dalam bentuk kajian, penerbitan, ataupun diskusi-diskusi membentuk opini publik. Pekerjaan ini pada dasarnya mengarah kepada pemberian bobot ide, atau isi dari suatu kebijakan.

Kedua, diarahkan untuk mendorong suatu law enforcement, yang dalam hal ini dilakukan dengan jalan melakukan pendampingan kepada masyarakat yang terkena kasus ke pengadilan, sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga-lembaga bantuan hukum, para pengacara (lawyer).

Dan ketiga, mengadakan pendidikan, yang diharapkan berkembang kesadaran kritis rakyat, sehingga dapat menjadi kekuatan efektif, terutama dimaksudkan untuk memberikan atau membangun lingkungan yang lebih demokratik, sehingga kebija¬kan yang menguntungkan rakyat dapat berjalan, dan di sisi lain, kebijakan yang merugikan dapat digantikan. Hal ini penting, agar rakyat dapat dengan bebas dan terjamin secara hukum dalam mengupayakan peningkatan kapasitas kritisnya.

Advokasi akan mencapai hasil yang gemilang, bila dilakukan dengan arah strategi yang tepat. Untuk memperkembangkan strategi, dapat dilakukan dengan:

1. menetapkan tujuan, apa yang ingin dituju/dicapai;
2. menentukan siapa yang akan digerakkan, pendukung gagasan;
3. merumuskan apa yang akan disampaikan, atau apa pesannya;
4. menentukan siapa yang diharapkan membawa pesan tersebut;
5. menentukan media, atau bagaimana pesan tersebut disampaikan (alat penyampai);
6. memeriksa apa yang kita miliki;
7. memeriksa dengan cermat apa yang bisa atau apa yang mungkin dilakukan untuk mengem¬bangkan peluang;
8. merumuskan bagaimana memulai; dan
9. merumuskan cara untuk mengoreksi kekeliruan dalam langkah.

Dengan jumlah pertanyaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa advokasi bukan bertumpu kepada kemampuan merumuskan gagasan yang akan diperkembangkan, melainkan kepada kemampuan menger¬ahkan segala sumberdaya yang ada, dan mengupayakan sedemikian rupa sehingga sumberdaya tersebut dapat dimobilisasikan dengan cepat dan maksimal.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembetukan jaringan kerja yang dapat mendukung sukses advokasi menjadi sangat penting. Dalam pembentukan jaringan ini berlaku prinsip: jaringan taktis, yang bersifat sementara, ad hoc dan jaringan yang bersifat strategis, jangka panjang. Prinsip dasar yang patut dipegang adalah bahwa patut dikembangkan upaya sebanyak mungkin (seluas mungkin), sehingga daya dobrak advokasi menjadi lebih kuat dan dapat dipastikan keberhasilannya. Batas-batas moral memang perlu diperluas, sebab jika dikalku¬lasi tidak terlampau merugikan, maka advokasi dapat menempuh aliansi dengan pihak-pihak yang dalam jangka panjang sesung¬guhnya merupakan kekuatan anti perubahan. Tugas dari partisipan gerakan sosial adalah menetapkan kriteria, syarat-syarat dan garis batas dalam melakukan aliansi. Selain itu, perlu mulai dipi¬kirkan bentuk-bentuk jaringan, agar lebih efektif mencapai tujuan.

Jebakan Advokasi. Apakah suatu advokasi akan selalu membawa keberhasilan? Atau bagaimana agar advokasi dapat mencapai titik yang dituju? Pertama, (secara normatif) gerakan advokasi harus memenuhi seluruh persyaratan yang dibutuhkan, terutama organisasi advokasi yang kuat dan terorganisir (lihat blok gerakan terorganisir). Kedua, seluruh pekerjaan advokasi harus diletakkan dalam kerangka strategis, perubahan sosial yang bertumpu kepada masyarakat. Dengan demikian, advokasi harus memiliki implikasi kepada penguatan masyarakat, bukan suatu bentuk ketergantungan masyarakat. Ketiga, gerakan adokasi, tidak boleh membiarkan dirinya melakukan kesalahan dalam langkah. Dua hal terakhir inilah yang akan dibahas secara singkat.
Pada umumnya, proses advokasi dimulai dari “munculnya” korban, atau suatu persoalan yang telah menjadi perbincangan publik, dan disadari sebagai hal yang tidak bersesuaian dengan prinsip kemanusiaan, hak asasi dan demokrasi. Meskipun demikian, ada pula suatu kasus dimana, advokasi berangkat dari keprihatinan yang semula belum manifes. Masalahnya memang bukan terletak kepada titik berangkat, melainkan kepada proses selanjutnya, yakni ketika issue telah diangkat, menjadi bahan perbincangan publik dan sekaligus mengenai (menyentuh) kepentingan kekuasaan (penyelenggara kekuasaan). Maka tarik-menarik akan terjadi.
Partisipan dalam gerakan advokasi, tentu saja memahami mengenai langkah-langkah yang akan diambil. Langkah umumnya telah disusun sedemikian rupa, disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Bahkan jenis aktivitas dengan segala perhitungan sumberdaya pendukung, telah ditentukan. Hal yang selalu tidak teramalkan atau tidak terprediksi dengan tepat adalah sikap dari penguasa (pembela status quo). Masalahnya kemudian: bagaimana mengantisipasi sikap (jawaban) yang tidak pasti tersebut? Disinilah jebakan seringkali muncul.
Sebagai contoh, adalah munculnya tindakan koersif dari penguasa, apakah dalam bentuk penangkapan, pelarangan, perijinan, dan lain-lain. Meskipun tindakan yang disebut belakangan ini termasuk hal yang harus dilenyapkan, namun dalam konteks advokasi yang sudah ditentukan secara cermat, sikap tersebut, sangat mudah (1) menimbulkan reaksi emosional; (2) menimbulkan sikap defensif yang berlebihan; dan (3) menambah agenda, diluar rencana semula. Dalam kasus kampanye anti-waduk, misalnya. Para partisipasi advokasi, dapat dengan mudah dibawa kepada issue penangkapan aktivis, pelarangan diskusi, atau berbagai bentuk issue yang lain. Yang pada gilirannya: (1) fokus menjadi hilang; dan (2) beban bertambah, padahal sumberdaya terbatas.
Patut juga disadari bahwa penguasa tidak selalu menolak tuntutan partisipasn advokasi. Sebuah kasus di pengadilan, sebagai contohnya? Atau sebuah aksi massa (dengan jumlah puluhan orang), tetapi telah mampu mengubah sikap penguasa? Bila kemenangan ini tidak diletakkan sebagai kemenangan kecil dari tujuan yang lebih jangka panjang, maka kemenangan tersebut akan mudah membuat mimpi tentang kekuatan. Tidak jarang hal ini menjadi “kisah sukses” yang dibawakan kemana-mana, tanpa melihat dengan jeli konteks kemenangan dan situasi aktualnya. Akibatnya proses konsolidasi tidak dijalankan, dan kondisi organisasi serta kinerja, dipatenkan sebagai situasi yang paling baik. Proses-proses penguatan masyarakat, khususnya agar masyarakat tidak terlalu bergantung menjadi terabaikan. Malah tanpa sadar ketergantungan masyarakat menjadi semacam kebanggaan tersendiri: setiap kasus rakyat datang. Penyakit cepat puas, lalai dan arogansi, merupakan segi-segi yang harus selalu dibersihkan, agar gerakan advokasi tidak tergelincir dalam permainkan elit belaka.

Jaringan Advokasi.
Jaringan advokasi tentu patut dibedakan dengan jaringan gerakan yang lebih luas. Suatu jaringan advokasi bisa jadi merupakan kumpulan dari beberapa pihak, yang mungkin tidak sejalan dalam tujuan jangka panjang. Bahkan (dalam batas-batas tertentu), pihak-pihak “musuh” dapat pula dijadikan salah satu simpul dalam jaringan tersebut. Ciri dari jaringan advokasi ini adalah: (1) menangani kasus tertentu, atau suatu persoalan tertentu; (2) bersifat jangka pendek, meskipun mungkin komitmen dapat diperpanjang; (3) masalah lebih terfokus. Berbeda dengan jaringan gerakan yang lebih, yang bisa jadi mempunyai tujuan menengah yang sama, dengan organ dan sistem yang jauh lebih rumit.
Mengapa penting? Jaringan advokasi menjadi instrumen yang sangat penting, yang didasarkan kepada kenyataan bahwa proses advokasi efektif hanya mungkin dicapai bila melibatkan kelompok (pihak) yang lebih luas. Kebutuhan tidak sekedar masalah legitimasi, kekuatan massa, tetapi menyangkut pembagian kerja, dan lain-lain. Malah, adanya jaringan kerja yang efektif akan menjadi salah satu indikator bagi keberhasilan advokasi. Suatu advokasi yang gagal membentuk jaringan, patut mendapat pertanyaan kritis: mengapa advokasi yang dilakukan tidak mendapat dukungan dari kelompok/pihak lain?
Bagaimana mengembangkan jaringan kerja yang efektif? Dalam hal ini terdapat beberapa prinsip yang penting diperhatikan: Pertama, kejelasan fokus masalah, maksud, dan tujuan. Atau dengan kata lain, perencanaan harus secara rinci disusun. Hal ini untuk menghindari terlalu banyak berkembangnya improvisasi dalam pelaksanaan. Kedua, memperjelas partisipan atau anggota simpul jaringan. Kejelasan, tidak saja masalah komitmen, tetapi sumberdaya, kesediaan praktis dan kesediaan menghadapi berbagai kemungkinan yang timbul. Hal yang patut dihindari adalah sikap asal jadi atau seadanya, dimana simpul jaringan hanya didasarkan kepada komitmen, terutama akibat tidak tersedianya atau sedikitnya jumlah partisipan. Pada taraf awal partisipan yang banyak terlihat membawa prospek. Tetapi dalam jangka panjang, partisipan yang tidak memiliki kejelasan basis dukungan, hanya akan menjadi kendala kemajuan. Ketiga, memperjelas mekanisme, atau pembagian tugas. Prinsip keadilan dapat diterapkan, tetapi bukan berarti setiap simpul memiliki beban yang sama, melainkan tanggungjawab yang sama. Pembagian kerja didasarkan kepada kapasitas masing-masing simpul. Transparansi, khususnya dalam hal dana, penting ditradisikan, agar tidak terjadi salah pengertian, rumor, atau fitnah, yang justru akan memperlemah jaringan. Keempat, memperjelas level aktivitas. Masing-masing partisipan perlu menyadari makna dan bentuk aktivitas yang akan diadakan. Agar tidak muncul pertanyaan yang keluar dari kesepakatan. Kelima, jaringan advokasi akan lebih kuat, bila anggota simpul atau partisipan memiliki pandangan dan prinsip yang relatif sama. Perbedaan yang terlalu menonjol, tampaknya hanya akan menimbulkan masalah ketimbang gerak maju jaringan. Keenam, perlu dikembangkan model kepemimpinan dalam jaringan, sehingga koordinasi lebih efektif.
Aksi
Dalam konteks perubahan kebijakan, aksi merupakan salah satu metode yang dapat dikembangkan untuk mendorong proses perubahan. Aksi merupakan gerak perlawanan. Aksi dalam hal ini berbentuk pawai massa, rally, demontrasi mimbar bebas, dan lain-lain. Pilihan pada bentuk, sangat ditentukan oleh bobot tuntutan dan sekaligus kalkulasi pengaruh yang akan ditimbulkan. Jika dilihat dari performance mereka yang melakukan aksi, maka sangat jelas bahwa: (1) adanya persoalan (masalah yang dipersoalkan); (2) persiapan, baik untuk kegiatan tersebut ataupun mempersiapkan argumen, yang berarti investigasi; (3) adanya pra kondisi, tidak jarang kegiatan aksi telah diketahui oleh masyarakat; (4) massa pendukung; (5) sasaran yang jelas (menteri, presiden dan lain-lain); dan (6) tuntutan yang jelas.
Apakah aksi mutlak dilakukan? Dalam kerangka perubahan, tentu saja aksi mutlak dilakukan. Pertama, untuk lebih memperjelas basis dukungan tuntutan perubahan; Kedua, menunjukan kepada khalayak dan termasuk kepada pengambil kebijakan mengenai posisi kita: menolak atau menerima. Ketiga, menjadi bagian dari proses penyadaran, meningkatkan kapasitas “keyakinan” akan upaya untuk perubahan.
Syarat-syarat aksi. (1) harus jelas benar mengapa aksi dilakukan; (2) tuntutan obyektif dan bukan hasil imajinasi (subyektif); (3) sasaran tepat; dipahami dan didukung oleh massa yang berkepentingan; (4) mendapat dukungan yang luas, menarik front bukan menambah lawan; (5) persiapan yang memadai; dan (6) keyakinan yang tidak tergoyahkan. Dari sini menjadi sangat jelas bahwa aksi bukan suatu keisengan, tetapi merupakan tindakan yang didasarkan kepada kebutuhan, kebenaran dan pemihakan kepada mereka yang lemah dan kekurangan.

Evaluasi dan Konsolidasi.
Telah disebutkan bahwa advokasi bukan ujung, melainkan pangkal atau bagian dari proses panjang. Oleh sebab itu, setiap aktivitas advokasi harus dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa proses tersebut tidak sedang menurunkan kapasitas gerakan, melainkan sedang memperkuat. Untuk itulah, tahap evaluasi dan konsolidasi menjadi sangat penting. Suatu evaluasi bukan ditujukan memberikan hukuman bagi yang salah, atau membuat kekeliruan, melainkan untuk mengetahui dimana letak titik lemah dan dimana letak titik kuat, dan dari sana dibuat kembali rencana-rencana baru yang bukan menyandarkan kepada kelemahan, melainkan kepada kekuatan yang ada. Selanjutnya proses konsolidasi perlu dilakukan, agar pekerjaan yang besar, yang mungkin melibatkan banyak pihak, akan dapat dipetakan dengan lebih baik. Segi pentingnya adalah agar organisasi advokasi tidak “rusak” akibat keausan (baik akibat gesekan atau tekanan), dan dapat dengan segera dipulihkan. Mekanisme evaluasi dan konsolidasi perlu dimasukan dalam seluruh rencana advokasi, demikian juga dalam aksi.

V. Konflik.
Dalam sebuah masyarakat yang digenangi oleh nilai-nilai harmoni, konflik menjadi sesuatu yang tabu. Setiap konflik akan dipandang sebagai awal dari bencana, destruksi, dan bukan sebagai tahap gerak kemajuan. Pandangan anti-konflik didasarkan kepada asumsi bahwa konflik merupakan suatu bentuk penyimpangan dalam masyarakat. Berikut ini, akan dibahas suatu sudut pandang lain, mengenai konflik. Pembahasan akan diarahkan kepada: (1) memahami hakekat konflik; dan (2) managemen konflik.
Darimana datangnya konflik sosial? Apa latar belakang, atau kekuatan apa yang mendorong munculnya konflik sosial. Masalah ini hanya dapat dipahami dengan mengkaitkan persoalan ini dengan struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, seperti masalah penggusuran tanah, upah buruh yang tidak bayar sesuai dengan keringat yang dikeluarkan, dan berbagai bentuk perampasan hak, menunjuk dengan sangat jelas: (1) adanya struktur yang timpang. Mereka yang dikuasai akan senantiasa menjadi bulan-bulanan ketidakadilan. Mereka yang tergusur tidak memiliki banyak daya untuk mempertahankan diri, dan bahkan menagih kembali apa yang diambil; (2) adanya ketidakadilan dalam distribusi sumberdaya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konflik sesungguhnya merupakan hal yang inheren di dalam struktur sosial.
Struktur yang timpang, tidak dengan sendirinya membuat konflik menjadi manifes. Terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan konflik laten menjadi menifes. Dalam hal ini semakin kuat desakan mereka yang dipinggirkan dalam mempertanyakan keabsahan pembagian (distribusi) sumberdaya yang ada; atau semakin dalam ketimpangan sosial yang terjadi, sesungguhnya menjadi kondisi obyektif yang memungkinkan suatu konflik timbul. Di pihak penguasa (yang menguasai, dominan), tentu selalu mengusahakan agar struktur yang timpang tidak terlalu terlihat, meskipun dirasakan oleh yang didominasi (dikuasai). Pandangan anti-konflik, konsep-konsep kecemburuan sosial, dan lain-lain, merupakan bagian yang tidak terpisah dari usaha tersebut, yang pada intinya adalah membendung agar jangan sampai kondisi yang ada tidak memunculkan konflik. Di pihak yang dikuasai atau yang dirugikan, ketika kesadaran mereka semakin tinggi, terutama kesadaran mengenai hak untuk mempertanyakan dan kesadaran bahwa distribusi yang tidak adil merupakan perampasan, maka dengan sendirinya, akan semakin tinggi peluang munculnya konflik secara terbuka.
Dengan menyadari posisi struktur yang demikian, maka konflik dipandang sebagai jalan yang paling mungkin untuk menyelesaikan struktur yang tidak adil tersebut, dan membawanya kepada struktur baru yang lebih adil. Asumsi dasar pandangan ini adalah bahwa rakyat (sebagai manusia) memiliki kepentingan dasar, dalam mana mereka sendiri (cepat atau lambat) akan memperjuangkan untuk meraih kepentingan tersebut, sebagaimana juga penguasa (kelompok dominan) yang memperoleh kelebihan distribusi melalui “perjuangan” atau cara-cara tertentu. Jadi, upaya untuk mempertahankan situasi penuh harmoni, pada dasarnya akan sia-sia, sebab, bagaimana pun konflik akan muncul.
Suatu gerakan untuk keadilan dan demokrasi, akan menjadi bagian dari unsur-unsur yang berkonflik dalam masyarakat. Ketidakadilan sendiri, dapat dipertanyakan keabsahannya, bukan saja oleh mereka yang menjadi korban ketidakadilan, melainkan dari pihak luar, yang memahami kondisi ketidakadilan tersebut. Gerakan dengan demikian menjadi unsur yang dapat dikatakan mempercepat terjadinya konflik. Melalui gerakan, kesadaran mereka yang menjadi korban akan ditingkatkan dan bahkan kemampuan mereka untuk memahami dan mengorganisasi diri juga ditingkatkan sedemikian rupa, sehingga mereka dapat mendorong tuntutan, muncullah konflik. Tentu saja patut dibedakan antara konflik, kepentingan sosial yang berkait dengan masalah distribusi sumberdaya dengan konflik di kalangan gerakan sendiri. Hal ini sangat penting disadari agar dapat dibedakan dengan jelas, mana pokok masalah dan mana masalah-masalah sekunder atau masalah ikutan.
Managemen konflik. Yang dimaksudkan dengan managemen konflik disini bukan dalam arti upaya untuk meredam konflik sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan yang berkuasa. Managemen konflik lebih ditujukan sebagai upaya untuk menemukan resolusi yang paling produktif, dalam mana tujuan kepada perubahan ke arah keadilan tidak dikorbankan. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan pemahaman yang lebih dalam mengenai berbagai dimensi dalam konflik: (1) cakupan konflik –pihak-pihak yang berkonflik, wilayah, level, dan lain-lain; (2) intensitas konflik –sejauhmana tingkat urgensi dan kegentingan konflik; (3) keterbukaan –sampai dimana konflik diketahui oleh publik. Tiga dimensi ini diperlukan, terutama untuk menarik suatu resolusi tertentu. Sebagai contoh, untuk suatu konflik yang cakupan sempit, tentu saja tidak membutuhkan tenaga dan sumberdaya yang besar, dan dengan sendirinya peluang untuk menyelesaikan konflik dengan baik (produktif) akan lebih besar. Disisi lain, pemahaman mengenai berbagai dimensi tersebut, akan lebih memudahkan dalam menggalang kelompok-kelompok pendukung.

VI. Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan. Berikut akan dibahas mengenai salah satu teknik resolusi, yakni teknik anti kekerasan, sebagaimana yang dikembangkan oleh Gandhi. Ajaran Gandhi merupakan anti tesis dari kekerasan.
Antara Cara dan Tujuan. Salah satu tonggak penting adalah pandangan tentang cara dan tujuan. Gandhi menegaskan: Begitu cara digunakan, begitu pula tujuan yang dicapai. Tidak ada dinding pemisah antara cara dan tujuan. Realisasi dari tujuan biasanya tercapai sebanding dengan cara pelaksanaannya. Prinsip ini hendak memberikan argumen bahwa suatu tujuan mulia, keadilan, kebebasan, demoktasi, dan kemanusiaan, tidak akan mungkin dapat dicapai dengan jalan (cara) yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, cara harus merupakan turunan langsung dari tujuan, dan sebaliknya, tujuan harus memberikan petunjuk bagi cara. Cara pantang (tanpa) kekerasan merupakan kekuatan yang paling ampuh yang tersedia bagi umat manusia dalam mewujudkan cita-cita mulia, suatu kehidupan baru yang adil dan beradab.

Ahimsa, Paham Pantang Kekerasan. Ahimsa merupakan upaya sadar dilakukan untuk menghindari suatu nestapa (penderitaan) pada orang lain. Pilihan ahimsa, mensyaratkan kerelaan atau kesediaan untuk berkorban, secara penuh. Dengan sendirinya mereka yang berpegang kepada paham pantang kekerasan, telah meyakini suatu kekuatan dan kebenaran yang tinggi, dalam mana manusia hanya menjadi bagian kecil, dan oleh karena rasa takut tidak lagi mendapat tempat. Dalam paham ini, bukan saja diri sendiri yang hendak dijaga kemuliaannya, dengan tidak menimbulkan nestapa pada orang lain, tetapi juga orang lain, agar tidak menjadi sengsara akibat tindakan kekerasan. Maka penganut ahimsa, tidak akan membenci musuhnya, sehingga menimbulkan dendam kesumat, yang pada akhirnya mendorong sikap kekerasan. Dalam konteks politik, penggunaan ahimsa, berarti melakukan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan suatu perkara tanpa menimbulkan penderitaan pada lawan.
Ahimsa, bukan sekedar suatu teknik resolusi dalam konflik, melainkan suatu prinsip yang dapat menopang sebuah sistem: ekonomi, politik dan kebudayaan. Dasar dari kesemuanya adalah tindakan untuk membatasi diri sendiri dengan moralitas yang tinggi. Dalam bidang ekonomi, sebagai contoh, ahimsa, menolak suatu kehidupan yang melebihi dari apa yang dibutuhkan. Keprihatian kepada kesenjangan sosial, tidak diselesaikan dengan cara kekerasan, tetapi dengan jalan melakukan persuasi, meyakinkan pihak-pihak yang membuat nestapa manusia lain, untuk menyadari. Namun demikian, tindakan ini tidak dimaksudkan untuk memaksa, melainkan memberikan pilihan dan membiarkan “mereka” memilih sendiri sesuai dengan kesadarannya. Sebagai suatu teknik resolusi, ahimsa tidak lepas dari satyagraha.
Satyagraha. Ahimsa bukan suatu tindakan pasif, yang membiarkan kekerasan berjalan begitu saja. Pantang kekerasan bukan berarti setuju pada kekerasan, melainkan secara aktif mengadakan perlawanan: perlawanan pantang kekerasan. Disinilah prinsip satyagraha dipakai sebagai teknik dalam resolusi, yang berarti menggunakan kekuatan yang bersumber pada kebenaran dan cinta kasih. Satyagraha bukan untuk menghancurkan, melainkan tindakan melawan yang tetap berpegang kepada prinsip menentang kekerasan. Dalam menjalankan satyagraha ditempuh beberapa tahap: (1) persuasi melalui penalaran. Tindakan mempengaruhi lawan, dengan cara menggunakan kekuatan penalaran, suatu negosiasi atau lobby. (2) bila tahap pertama tidak bisa atau tidak menghasilkan penyelesaian, dan persoalan makin menegang, maka dilakukanlah persuasi melalui penderitaan. Hal yang ingin ditunjukan disini bahwa kita (korban) tidak bisa menerima tindakan atau suatu kebijakan, dan kita (korban) tidak bisa terus menerus dipaksa. Tindakan menerima penderitaan (seperti mogok makan), merupakan penegasan sikap; (3) bila tindakan pasif, melukai diri sendiri untuk mempengaruhi lawan, tidak diterima, maka masih terdapat tahap terakhir yakni menolak bekerjasama, yakni suatu bentuk tekanan tetapi tetap tunduk kepada prinsip pantang kekerasan.
Satyagraha, merupakan suatu bentuk pembangkangan, menolak bekerjasama. Sikap ini berpegang kepada prinsip bahwa setiap orang punya hak untuk menolak menjadi “kawula” (budak) dari negara. Artinya, setiap orang punya hak untuk tidak tunduk kepada aturan atau kebijakan yang nyata-nyata merugikan. Boikot merupakan contoh yang cukup populer dipergunakan dalam melakukan tekanan untuk merubah. Penganut ahimsa harus yakin bahwa tindakannya bukan suatu cela, atau kegiatan kriminal. Ketidakpatuhan kepada kebijakan yang merugikan, harus tegas dibedakan dengan ketidakpatuhan kriminal. Yang pertama untuk menjaga martabat manusia, dan yang kedua menyebar nestapa. Negara dengan kekuasaannya boleh saja menekan gerak tumbuh ketidakpatuhan kriminal, tetapi menekan ketidakpatuhan politik merupakan tindakan cela dan pelanggaran paling buruk terhadap hak-hak warga negara.
Metode-metode Ahimsa. Beberapa metode yang dapat disebutkan disini antara lain: (1) protes dan persuasi, seperti aksi-aksi damai, pernyatan protes, prosesi, dan lain-lain; (2) tidak bergabung, seperti tidak mendukung kegiatan sosial tertentu; (3) non-kooperasi di bidang ekonomi, seperti boikot produk; (4) non-kooperasi di bidang politik, seperti boikot pemilu. Dalam masyarakat, sebetulnya terdapat banyak metode pantang kekerasan, yang dapat terus dihidupkan.
Bagaimana mewujudkan ahimsa. Pertanyaan ini tentu sangat sulit untuk dijawab. Sebab hal ini membutuhkan banyak kesiapan. Namun demikian, dalam prinsip perjuangan ahimsa tidak dikenal kebuntuan. Tidak semua syarat harus dipenuhi, sebab sebagian syarat akan diperoleh melalui kegiatan aktif menumbuhkan ahimsa dalam kehidupan. Untuk suatu gerakan ahimsa hal yang perlu dipersiapkan adalah: (1) sasaran yang jelas, dibutuhkan analisa yang jeli, cermat dan tepat; (2) tidak lagi menyimpan rasa takut. Rasa takut sebenarnya merupakan lahan bagi sikap kekerasan, untuk itu, penganut ahimsa harus menghilangkan rasa takut, yang juga merupakan perwujudan dari sikap menolak tunduk dengan kebenaran rendah; (3) tidak menyerang, setiap cara yang lebih lunak, harus diusahakan lebih dahulu, sebelum tindakan aktif satyagraha: (4) meningkatkan daya ketabahan diri, terutama agar tidak tergoda melakukan kekerasan akibat menerima kekerasan.
Apakah gerakan pantang kekerasan memiliki prospek berkembang di Indonesia? Pertanyaan ini sebetulnya tidak begitu relevan. Yang perlu dijawab adalah bagaimana mewujudkan gerakan aktif pantang kekerasan untuk mendorong tumbuhnya demokrasi dan keadilan? Berbagai bentuk kekerasan yang makin “wajar” diterima masyarakat seperti pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, dan lain-lain, dan terutama adanya kekuatan bersenjata yang menjadi pelindung kekuasaan yang korup, merupakan tantangan yang sangat besar. Kenyataan ini pula yang banyak membuat keraguan dalam mengembangkan gerakan pantang kekerasan. Ada tidaknya gerakan pantang kekerasan, akan sangat bergantung kepada sejauhmana tumbuhnya individu-individu yang dapat memikul ajaran ahimsa. Sebab gerakan ini tidak bisa hanya dengan kata, melainkan terutama harus diwujudkan dalam tindakan dan sikap hidup.

Penutup.
Setiap gerakan sosial tentu bukan bentuk dari keisengan, melainkan suatu upaya untuk menyelamatkan manusia dari proses yang merendahkan kemanusiaan. Gerakan sosial dengan demikian merupakan upaya sadar dengan maksud mengubah yang merendahkan manusia menjadi tatanan baru yang lebih baik dan bermakna. Mereka yang melibatkan diri dalam gerakan sosial, pertama-tama harus menyadari bahwa menceburkan diri dalam gerakan berarti menyediakan diri untuk memberikan pengorbanan kepada manusia lain yang telah direnggut kemanusiaannya, dan menyediakan diri untuk merugi demi untuk menghentikan praktek eksploitasi dan penghinaan dari manusia satu kepada manusia yang lain. Oleh sebab itu, tidak mungkin seseorang terlibat dalam gerakan sosial bila tidak memiliki rasa kecintaan yang mendalam kepada manusia dan kemanusiaan. Berbagai segi dalam dinamika gerakan sosial hanya merupakan cara untuk mencapai tujuan, yang tentu saja tidak bersifat mutlak kecuali tujuan kemanusiaan itu sendiri. Setiap tempat akan memiliki karakter dan kekhasan sendiri, meskipun tidak perlu dipungkiri adanya segi-segi yang bersifat umum dari gerakan.

Demikian.

[bahan-bahan ini dikembangkan untuk keperluan pelatihan CEFIL –tanggal 16 Maret-22 Maret 1999, SATUNAMA-KAS: Dadang Juliantara].

Sosiologi dan Analisis Sosial

PARADIGMA-PARADIGMA SOSIOLOGI
dan
ANALISIS SOSIAL

PENGANTAR

Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum.

Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metteori tentang sifat dasdar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.

Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.

ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL

Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Fildsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.

ASUMSI ONTOLOGIS

Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah relaitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.

ASUMSI EPISTEMOLOGIS

Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasdarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.

ASUMSI HAKEKAT MANUSIA

Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dsengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini.

ASUMSI METODOLOGIS

Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukuim-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “ tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.


Bagan Asumsi-Asumsi Dasar ilmu Sosial
(Dimensi Subyektif-Obyektif)


Nominalisme – Realisme : Debat Ontologis

Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap merupakan sesuatu yang berada di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau label yang digunakan menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu. Penamaan itu hanyalah rekaan saja untuk menjelaskan, emberi pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering disejajarkan dengan paham konvensionalisme. Keduanya sulit dibedakan.

Realisme beranggapan bawa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilii penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.

Anti-positivisme – Positivisme: Debat Epistemologis

Sebutan “kaum positivis” sama seperti “kaum Borjuis” berkesan sentimen dari suatu pandangan tertentu. Istilah itu digunakan di sini untuk mengidentifikasi sikap atua pendirian epistemologis tertentu. Istilah positivisme sering dicampuradukkan dengan “empirisme”, ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.

Pendirian epistemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang digunakan dalam ilmu alam. Perbedaannya hanya dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental; tetapi sering juga jipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis (ingin membuktikan kebenaran) dan falsisikasionis (ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa tentang tatanan sosial sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses kumulatif dimana pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesa salah yang pernah ada.

Pendirian epistemologis kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah atau menegasdkan tatanan sosial tertentu terhadap semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang-perorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai “pengamat” seperti layaknya kedudukan kaum positivis. Seseorang hanya bisa “mengerti” melalui kerangka berpikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya bisa mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Karena itu, ilmu sosial bersifat subyektif dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengaetahuan tentang apa saja.

Volunterisme – Determinisme : Debat Hakekat Manusia

Kaum determinis menganggap bahwea manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitar dimana ia berada. Kaum volunteris beranggapan manusia sepenuhnya pencipta dan berkemauan bebas. Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam teori ilmu sosial.

Ideografis – Nomotetis: Debat Metodologis

Pendekatan ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial melalui pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisisnya secara subyektif dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan langsung sedelkat mungkan dengan memahami sejarah hidup dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang diteliti dibirkan muncul apa adanya.

Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematik dalam penelitian, seperti metode ilmu alam dengan mengutamakan proses pengujian hipotesa dengan dalil-dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik-teknik kuantitatif untuk menganalisis data. Survei, angket, tes kepribadian dan alat-alat baku yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.

ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
MENGENAI SIFAT ILMU SOSIAL

Ada dua tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih duaratus tahun terakhir. Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke dalam pengkajian peristiwa sosial atau kemanusia. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Meniru kaum realis dalam ontologinya, kaum positivis dalam epistemologinya, pandangan deterministik mengenai sifat manusia dan nomotetis dalam metodologinya.

Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlawanan dengan yang pertama. Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi “ruh” atau “gagasan”. Karena itu, ontologinya nominalis, epistemologinya anti-positivis damana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpandangan volunteris terhadap fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam analisis sosialnya.

Sejak 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial. Jalan tangan dari kedua kutub memunculkan bebrapa pemikiran baru seperti fenomenologis, etnometodologi dan terori-teori aksi. Aliran tengah ini sealin menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengna baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.

ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
TENTANG HAKEKAT
MASYARAKAT

Semua pendekatan dalam mengkaji masyarakat didasarkan pada kerangka berpikir, pandangan dan anggapan-anggapan dasar tertentu.

Debat Ketertiban – Pertentangan (Order-Conflict Debate)

Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologi dalam dua pandangan: pandangan tentang sifat keseimbangan dan ketertiban sosial dan pandangan mengenai perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat. Yang pertama penganutnya jauh lebih banyak dari kedua. Menurut Dawe, yanhg pertama merupaka teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970), Van den Bergh (1969) mwnganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya. Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk mnenjelaskan ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.

Cohen (1968), berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak sistem sosial, menyebutkan bahwa corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh: perjanjian bersama (commitment), kerapatan (cohesion), kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus), imbal balik (reciprocity), kerjasama (coorperation), keterpaduan (integration), ketetapan (stability), dan kekukuhan (persitence). Corak pertentangan sosial ditandai pemaksaan (coercion), pemisahan (division), percekcokan (hostility), ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict), ketidakpaduan (malintegration) dan perubahan (change).

Bagan Teori Masyarakat:
Ketertiban dan Pertentangan



Selanjutnya ia mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara ketertiban dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsur-unsur kedua corak masyarakat, sehingga tidk perlu diperdebatkan.

Tahun 1960-an lahir gerakan budaya penentang (counter-culture movement). Tahun 1968 revolusi Perancis gagal, maka sosiolog kemudian beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke kajian-kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangsan sosial terbenam kalah, debat fisafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya perdebatan itu maka pakar sosial merupakan karya Marx dan cenderung melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan pertentangan karena apa yang disebut “kesepakatan sosial” bisa jadi hasil penggunaan kekuatan yang memaksa.

Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson tentang “orientasi nilai” (value orientation) dan “tatanan nilai” (normative structure) hanyalah perlambangan untuk legitimasi kekuasaaan. Dahrendorf menyebutnya kesepakatan sebagai sistem mengesahkan tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebutnya “penguasaan” (domination).

Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang cenderung meladeni kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya transformasi masyarakat secara radikal.

Banyak analisis tentang ketertiban dan pertentangan ini sering salah tafsir, terjebak dan membuat pengertian menjadi suram tentang perbedaan mendadsar keduanya. Oleh karena diusulkan adanya perubahan-perubahan tertentu yang lebih tegas dan radikal dalam menganalisis keduanya, maka digantilah peristilahan yang lain sama sekali yakni: keteraturan (regul;ation) dan perubahan radikal (radical change).

KETERATURAN VS
PERUBAHAN RADIKAL


Istilah ini diusulkan karena telah terjadi banyak ketidakjelasan dalam embedakan corak ketertiban dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori sosial yang menekankan pentingnya kesatuan (unity) dan kerapatan (cohesiveness). Teori ini mendambakan adanya keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah perubahan radikal sarat dengnan keinginan menjelaskan tentang perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan yang mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai masyarakat modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari berbagai struktur (tatanan) masyarakat yang membatasi dan menghalangi potensinya untuk berkembang. Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah masalah harkat manusia, baik fisik maupun kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa yang mungkin dan bukan sekadar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda dari sekadar kemapanan.

Skema Keteraturan Perubahan Radikal



DUA DIMENSI, EMPAT
PARADIGMA

Sejak 1960-an telah terjadi banyak aliran pemikiran sosiologi bermunculan. Dalam perkembangannya berbagai pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal 1970-1n telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi baik mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada 1960-1n. Untuk menembus kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur penting dari perdebatan yang terjadi pada 11960-an dan cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: humanis, radikal, strukturalis radikal, interpretatif, fungsionalis.


Paradigma Teori Sosial


Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi tetap pada pendirian masing-masing, karena memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.

Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma

Paradigma diartiokan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengetian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.

Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.

Paradigma Fungsionalis

Paling banyak di anut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan penyingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma Fungsionalis

Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.

Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai pewrsentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis. Interaksi antar paradigma digambarkan sebagai berikut :

Pengaruh Pemikiran yang Membentuk Paradigms Fungsionalis




Paradigma Interpretatif

Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.

Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang beradsal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal

Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.

Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.

Paradigma Strukturalis Radikal

Penganutnya juga memeprjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.